Sunday, June 12, 2011

Demam


Banyak yang bertanya, kenapa blog ini jadi sepi lantaran lebih sering ditinggal “tuan rumah”nya yang ternyata lagi asyik menderita demam Facebook. Facebook sebagaimana jejaring sosial via cyber lainnya seperti Friendster dan sejenisnya memang tengah menjadi kecenderungan di hampir semua kalangan pengguna internet

Bisa jadi dugaan itu benar, namun bukanlah seratus persen benar. Karena tentu saja memang ada kesibukan lain yang dilakukan CS akhirakhir ini yakni menemani beberapa komunitas teater berbasis kampus yang tengah merayakan ritual kelahiran adik barunya.
Anggota baru teater berbasis kampus itu, sebagaimana lazimnya anggota baru ditempat lain, tentu memiliki segudang harapan dan cita-cita. Kebanyakan dan celakanya ini yang paling sering ditemukan adalah keinginan untuk menjadi artis (baca:seleb dari Celebrity dalam Bahasa Inggris).
Sebetulnya keinginan serupa itu bukanlah sesuatu yang salah benar. Hanya saja yang perlu di terang jelaskan kepada siapapun saja yang hendak memasuki wilayah teater, bahwa kerja teater itu bukanlah semata kerja keaktoran belaka. Ada banyak hal yang mesti dipenuhi dalam sebuah ritus produksi pementasan. Disamping aktor sebagai salah satu elemen penunjang pertunjukan, diperlukan pula kehadiran sutradara serta penulis naskah serta tak kurang pentingnya adalah tim produksi yang tugasnya membackup kerja artistik yang dilakukan oleh sutradara, pemain, penulis naskah, pewujud set, peñata rias dan busana serta yang lainnya.
Kehadiran tim produksi dalam sebuah pertunjukan teater mutlak diperlukan, karena beban tim artistik yang demikian padat sangat tidak manusiawi bila masih diberi beban tambahan untuk memikul kerja produksi. Sebagaimana halnya sebuah kendaraan, tim produksi adalah bahan bakar yang memungkinkan kendaraan artistik itu bisa bergerak menuju titik yang dikehendaki. Dalam hal ini tentu saja sebuah pertunjukan teater.
Akan halnya cita-cita menjadi aktor itu tentu bukanlah sesuatu yang boleh kita pandang sebelah mata, mengingat daya tarik aktor yang utama adalah saat ia berdiri diatas pentas dan mengekspresikan dirinya melalui muatan dialog yang terkandung disetiap naskah.
Beberapa tahun silam, sayapun mungkin ada dalam jebakan pemahaman serupa itu. Membayangkan diri menjadi actor dan bermain dalam sekian karakter untuk memuaskan ego artistic saya sembari diamdiam mencatat setiap tepukan usai permainan. Sampai tahuntahun dimana saya mengasingkan diri dari gebyar panggung, paranoia tepukan itu masih menggelisahkan tidur malamku. Sampai beberapa tahun kemudian aku masih merinding mendengar tepukan yang mencandu itu.
Hari ini, didepan adikadik yang dengan antusiasme tertentu mencoba memasuki dunia panggung teater melalui Unit Kegiatan Mahasiswa di Kampusnya masing-masing dengan berduyunduyun, tibatiba aku merasakan merinding yang lain lagi. Aku seperti disadarkan waktu, bahwa melalui teater seharusnya kita bisa menjadi lebih peka dan dewasa menyikapi hidup ini. Meski sampai saat kutorehkan catatan ini, ruang diskusi di benak kita belum usai membincangkan ukuran kedewasaan itu dalam satu titik temu.

No comments: