Sebetulnya bukan bermaksud kurang ajar kalau aku ikutan bicara melalui media ini, tentang “heboh” sastra FKY XIX 2007. sengaja heboh disini kuberi tanda kutip
, karena sampai detik kutuliskan ini, aku masih saja percaya, sebetulnya peristiwa sastra FKY tak harus menjadi se complicated ini, seandainya semua pihak yang seolah berbeda aras pemahaman menyadari betapa pentingnya mekanisme dialog alias kultur rembug, yang semestinya bisa menjadi katup pelepas kesumpegan apabila terjadi komunikasi yang sendat dari warganya. Bukankah paseduluran (persaudaraan dan kekeluargaan) terasa lebih nikmat dari pada sekadar pemberhalaan ego serta pengedepanan vested interest. Sekali lagi maafkan kenakalan saya ini.
Saya memang bukan siapasiapa, dan tidak pernah sedetikpun bermimpi untuk menjadi apaapa. Saya yang sebetulnya bukan warga sastra, karena saya lebih afdol ketika bergaul di wilayah teater.(hanya saja karena teater bukan lagi sesuatu yang menarik untuk di FKYkan, maka saya memilih untuk jalanjalan dari kota kedesa kembali ke kota lagi di seantero nusantara)
Dan ini adalah bentuk keperihatinan saya dalam formatnya yang lain. Prihatin, Perih di Bathin, kurang lebih begitu saya memaknainya. Perih menyaksikan saudara-saudara saya di sastra terutama dalam konteks FKY ini begitu meributkan satu hal yang sebetulnya sangat bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bermartabat. Semisal dengan Rembug, seperti diawal tulisan ini tadi telah coba saya kemukakan.
Kalau saya boleh berandaiandai untuk melipat waktu sebelum kejadian, tentu tak perlu ada konflik yang sesungguhnya tak perlu ada itu. Kalau saja divisi sastra FKY waktu itu mau mengadakan pertemuan sebelum memutuskan untuk memilih siapa yang berhak tampil di acara FKY, tentunya tak perlu ada gejolak, yang sedikit banyak lumayan membuat jantung kita sebagai penonton jadi kebat-kebit karenanya. Kalau saja dan kalau saja. Karena segalanya telah terjadi. Tinggal bagaimana sekarang langkah kita bersama untuk menjahit kembali sesuatu yang telah terkoyak itu. Bagaimanapun juga saya lebih percaya pada kearifan kita untuk menyikapi ini semua.
Dan inilah indahnya dinamika pergaulan Jogja. Sesakit apapun, permaafan selalu menjadi pintu pembuka bagi setiap nikmatnya silaturahmi. Mari kita rentangkan tangan, duduk bersama dalam satu tikar dilantai diskusi, seminar, lokakarya maupun omong-omong. Sebab semoga saja matahari esok pagi tetap bersinar menghiasi hari. Seyogyanya ada semacam lembaga ataupun person yang mau untuk menjadi media terjadinya ishlah bagi retak yang sempat ada ini. Bisa jadi lembaga semacam Taman Budaya atau Dinas Kebudayaan bisa lebih sigap lagi untuk merangkul kembali anakanaknya yang tengah dilanda kekisruhan itu. Semoga saja.
Maka kalaupun toh ini hanya sekadar menjadi sebuah impian, biarkan saja. Setidaknya ia pernah ada.
, karena sampai detik kutuliskan ini, aku masih saja percaya, sebetulnya peristiwa sastra FKY tak harus menjadi se complicated ini, seandainya semua pihak yang seolah berbeda aras pemahaman menyadari betapa pentingnya mekanisme dialog alias kultur rembug, yang semestinya bisa menjadi katup pelepas kesumpegan apabila terjadi komunikasi yang sendat dari warganya. Bukankah paseduluran (persaudaraan dan kekeluargaan) terasa lebih nikmat dari pada sekadar pemberhalaan ego serta pengedepanan vested interest. Sekali lagi maafkan kenakalan saya ini.
Saya memang bukan siapasiapa, dan tidak pernah sedetikpun bermimpi untuk menjadi apaapa. Saya yang sebetulnya bukan warga sastra, karena saya lebih afdol ketika bergaul di wilayah teater.(hanya saja karena teater bukan lagi sesuatu yang menarik untuk di FKYkan, maka saya memilih untuk jalanjalan dari kota kedesa kembali ke kota lagi di seantero nusantara)
Dan ini adalah bentuk keperihatinan saya dalam formatnya yang lain. Prihatin, Perih di Bathin, kurang lebih begitu saya memaknainya. Perih menyaksikan saudara-saudara saya di sastra terutama dalam konteks FKY ini begitu meributkan satu hal yang sebetulnya sangat bisa diselesaikan dengan cara yang lebih bermartabat. Semisal dengan Rembug, seperti diawal tulisan ini tadi telah coba saya kemukakan.
Kalau saya boleh berandaiandai untuk melipat waktu sebelum kejadian, tentu tak perlu ada konflik yang sesungguhnya tak perlu ada itu. Kalau saja divisi sastra FKY waktu itu mau mengadakan pertemuan sebelum memutuskan untuk memilih siapa yang berhak tampil di acara FKY, tentunya tak perlu ada gejolak, yang sedikit banyak lumayan membuat jantung kita sebagai penonton jadi kebat-kebit karenanya. Kalau saja dan kalau saja. Karena segalanya telah terjadi. Tinggal bagaimana sekarang langkah kita bersama untuk menjahit kembali sesuatu yang telah terkoyak itu. Bagaimanapun juga saya lebih percaya pada kearifan kita untuk menyikapi ini semua.
Dan inilah indahnya dinamika pergaulan Jogja. Sesakit apapun, permaafan selalu menjadi pintu pembuka bagi setiap nikmatnya silaturahmi. Mari kita rentangkan tangan, duduk bersama dalam satu tikar dilantai diskusi, seminar, lokakarya maupun omong-omong. Sebab semoga saja matahari esok pagi tetap bersinar menghiasi hari. Seyogyanya ada semacam lembaga ataupun person yang mau untuk menjadi media terjadinya ishlah bagi retak yang sempat ada ini. Bisa jadi lembaga semacam Taman Budaya atau Dinas Kebudayaan bisa lebih sigap lagi untuk merangkul kembali anakanaknya yang tengah dilanda kekisruhan itu. Semoga saja.
Maka kalaupun toh ini hanya sekadar menjadi sebuah impian, biarkan saja. Setidaknya ia pernah ada.
No comments:
Post a Comment