Thursday, April 10, 2008

MataMu Makin Ungu Kurasa...



Kembali dari perjalanan yang tak jelas. Putarputar Jogja dengan Trans Jogja yang adem dan anti tembakau itu. Selalu saja kutemukan sesuatu yang baru, seperti sore itu. Saat aku bertemu dengan dua ABG dari Semarang yang konon mau pulang namun kehabisan ongkos. Sekalipun aku bukan orang yang kayakaya banget tapi naluri sebagai manusia yang pernah hidup dalam himpitan keadaan yang menjepit, aku terdorong niat untuk berbagi.


Malam itu Terminal Giwangan sepi. Tak ada lagi bis jurusan Semarang. Kecuali mau ngebelabelain untuk nongkrong di ruang tunggu sampai pukul empat pagi menjelang. Sementara dua gadis itu merengek pengen segera pulang. Sungguh, hanya satu keinginan berbagi itulah aku mengantar mereka dengan taksi.


Sampai di adegan itu, engkau bisa saja menyangka aku berlebihan uang hingga maumaunya ngeluarin duit Rp 350.000 buat ongkos jalan kami bertiga ke Semarang. Tapi ingin kuteriakkan dengan lirih pada semesta, sesungguhnya akupun tiada memiliki uang berlebih. Mungkin serupa cinta. Tapi tentunya bukan cinta yang berlabelkan asmara mudamudi. Ini semacam cinta yang lebih luhur maqamnya. Serupa cinta para awlia melihat saudaranya kebingungan di kota yang makin lama makin membingungkan.


Yang kubayangkan adalah kegilaan, bila membiarkan mereka berdua dalam kebingungan di terminal yang tidak bisa dibilang ramah itu. Sungguh aku hanya ingin berbagi. Bahkan aku tak sanggup memakai kata "menolong" untuk perkara ini. Alangkah sombongnya diriku yang mengira bisa menolong, karena sesungguhnya dirikupun masih banyak membutuhkan pertolongan.


Kalau kuguratkan catatan ini, bukan maksudku untuk menepiskan ikhlas. Namun lebih sebagai semacam rambu agar kita lebih hatihati. Tidak jarang, maksud baik belum tentu diterima sebagai kebaikan itu sendiri. Dan aku (semoga Tuhan menganggukkan kepalaNya), cukup mempersiapkan diri untuk tikaman kesakitan yang harus kucecap berulangkali. Seorang kawan dalam perjalanan menasihatiku, "ini sekadar ujian bagi keikhlasan". Dan aku sangat menerima statement tersebut. Sebab bagiku yang utama, niatku untuk mengantarkan mereka pulang ke kotanya sudah terlaksana.


Bisa jadi ini adalah catatan paling remehtemeh yang kalian liat dalam blogku. Dan untuk itu, kumohonkan maaf sebesarbesarnya pada kalian semua yang sempat mengintip catatan ini. Aku lantas jadi ingat kisah klasik tentang seorang pemuda tampan yang kerjaannya seharihari cuman duduk bengong ditepi sebuah danau sembari mengagumi ketampanannya sendiri. (Tentu tanpa kuberitahu kalian sudah sangat hapal dengan legenda Narcisus itu). Yang membuatku takjub dari kisah Narcisus itu bisa jadi berbeda dengan yang dirasakan oleh para bidadari yang menangisi kematian Sang Narcisus. Yang membuatku takjub adalah perubahan yang terjadi pada rasa air kolam itu yang berubah menjadi asin air mata setelah kematian si Narcisus. Apakah Sang kolam merasa kehilangan Narcisus? Ternyata bukan. Dia, kolam itu menangis karena tak bisa lagi melihat keindahannya sendiri yang terpantul dari mata bening si Narcisus. Jadi sesungguhnya siapa mengagumi siapa? Pertanyaan yang belum sempat terjawab setelah melampaui sekian dekade helaan waktu.


Dan aku, (saya sering protes kalo aku senantiasa memanjakan aku) tak lebih serupa kalian juga kawankawan. Yang kadang hanyut oleh sesuatu yang sederhana dan bodoh. Aku yang sempat belajar akting sekian lama ternyata mudah saja dikibuli oleh akting murahan dari dua remaja yang baru saja mengenal dunia. Apakah sedemikian siasianya hidupku ini? Aih, kalau saja aku tak ingat belaian tangan Mursyidku yang membisiku dalam dekap hangatNya, "Nrimo adalah satusatunya obat mujarab yang mesti segera ku tenggak".


Terimakasih Guru. Untuk itu aku mesti belajar berjalan kembali. Meniti batas alfabeta agar sampai pada alifbata berikutnya.


Sampai pada alinea tersebut tak terasa embun merabunkan kaca di mataku. Bukan karena ngantuk ternyata. Namun sekadar tetesan air, yang entah bagaimana mekanismenya, begitu saja nongol membasahi pipi dan meluncur terus menderas di tuts keyboard laptopku. Aku merasa jadi begitu cengeng dan sepele.Hehehehe.

Namun kadang manusia berencana DIA sendiri yang maha menguasai segenap kehendak yang menentukan segalanya. Entah sengaja atau tidak, salah satu dari ABG itu sempat meminjam hapeku dan menghubungi seseorang yang menurut penuturannya adalah kakak sepupunya di kota Semarang. Yang untungnya masih tersimpan di memory hapeku. Orang yang dihubungi itu punya nomor 085640688875, berjenis kelamin perempuan dan suaranya hampirhampir mirip dengan salah satu dari dua abg itu. Soal nama tidaklah begitu penting benar, karena setiap orang bisa mengaku sebagai apapun dan atau siapapun. Yang pasti, setelah nomor tersebut kuhubungi, orang diseberang sana bukannya bersikap kooperatif untuk menyelesaikan masalah namun justru berlaku naif untuk membingungkan diriku. Aku juga tak tau, apakah setelah ini, nomor itu masih diaktivkan atau dia akan buang kartunya untuk diganti nomor lain, sebagaimana lazimnya kebiasaan orangorang di negeri ini untuk gontaganti nomor. Itu hak dia dan silahkan saja. Setidaknya aku makin mengerti, bahwa kadang kekonyolan itu menjadi sedemikian penuh makna.

1 comment: