Monday, April 27, 2009

sekadar mencatat

Karma tertegun beberapa kejap. Buliran keringat sebesar jagung menetes disesela dahinya yang berkerut bimbang. Sementara matanya nanar menatap rajanya yang tak lagi mampu bergerak kemana-mana. Seolah tegak berdiri ditengah kumparan ragu dalam balutan cemas yang membatu. Maju selangkah saja, tentu akan menjadi bulan-bulanan kaki kuda lawannya. Kalaupun toh ada sejumput kenekatan untuk beringsut kesamping kiri, benteng kokoh itu akan segera meruntuhkan kewibawaannya menjadi berkeping-keping. Mundur, jelas bukan pilihan bijaksana dan jauh dari pengertian untuk disebut sebagai cerdas karena ada dua gajah yang siap membetot dan membanting tanpa ampun dengan belalainya.

Karma mulai gelisah, butir-butir keringat sebesar biji tasbih itu mewiridkan kecemasannya. Haruskah menyerah sampai disini? Mengakhiri permainan dengan kekalahan tak terampunkan. Suara detak jam disudut ruang itu melindapkan nyalinya. Tak ada suara apapun, kecuali dua ekor cicak yang tengah pacaran seperti mengejek nasibnya.
Degup jantung yang kian memburu serta detak waktu yang terus saja berlalu melagukan orkestrasi kematian bagi dirinya.sebentar-sebentar diliriknya Sudjana yang menghiasi air mukanya penuh senyum kemenangan. Masih saja tak terdengar bunyi apapun. Kebekuan menyergap seisi ruangan. Terutama bagi Karma yang tertunduk lesu mati kutu.
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Alam disekitar Karma seakan berputar balik. Serupa permainan kuda-kudaan di pasar malam dalam mimpi kanak-kanaknya. Kuda-kuda itu terlihat lucu dan menggemaskan tak segarang kuda dalam genggaman tangan Sudjana yang kini tengah mengancam bukan saja posisi pun juga nyawa Sang Baginda Raja. Tragisnya, kuda-kuda Karma sendiri mulai goyah membendung gempuran dari setiap lini. Berharap pada serdadu dalam situasi ini menjadi sia-sia. Tak ada yang mampu membebaskannya dalam situasi terjepit ini. Tak juga para menteri apalagi beteng Karma yang biasanya kokoh menjaga eksistensi kini pun nampak lowong tak berpenghuni. Sekali dorong bisa langsung doyong.
Dalam hitungan detik, begitu baginda raja mengumumkan penyerahan dirinya dalam dalam skaak yang sangat mat itu, Karmapun akan segera mengalami perubahan besar di dalam hidupnya. Senyum sinis Sudjana menebarkan ancaman. Sungguh pilihan yang teramat sulit ditanggungkan. Bahkan dulu prabu Yudhistira sulung para Pandawa itu itu tak pernah mengalami dilema serumit ini. Lantaran prabu Yudhistira hanya kalah dalam permainan dadu dan bukannya permainan catur yang ternyata lebih rumit dan penuh kejutan dari pada permainan dadu. Dan yang lebih sulit adalah pilihan akibat dari permainan itu sendiri. Kalau prabu Yudhistira dulu cukup dengan merelakan Drupadi dan terusir dari rumahnya di Indraprasta Regency, sementara Karma mesti menelan pilihan yang sakit untuk mengikhlaskan Warni istrinya yang dicintai dengan segenap rindu atau rela membiarkan anak gadisnya Wening jadi santapan Sudjana dan staf nya.
Pilihan yang teramat melelahkan. Bahkan teramat melelahkan hingga tak satupun pencatat kisah wayang menuliskannya dalam lontar waktu yang membelenggu.
Karma benar-benar sendirian. Ia iri hati setengah mati pada Yudhistira yang sempat mengusung penderitaan serupa ini bersama saudara-saudaranya sesama Gank Pandawa. Sementara dia mesti menelannya sendirian sepanjang jaman.
Warni melintas buat mengasong gelas-gelas kosong. Meja beku serupa perawan frigid yang tiada pernah tersulut simpul birahinya. Dingin menggigit tulang. Sepi, tak ada suara apa-apa. Kembali suara cicak cekikikan pacaran disudut ruang.
Sudjana menelan ludahnya dengan senyum kemenangan penuh gairah nakal. Karma menekuri nasibnya. Warni mendadak diam dan tak terjemahkan. Wening, anak gadisnya yang tertidur sejak sore tak akan pernah sesekali membayangkan bila saat bangun nanti akan disergap kumparan nasib yang membungkusnya dalam pengap yang teramat gelap.
Gempa di dada Karma tak terdeteksi skala richternya seakan meledak dan membuatnya jadi bubur basi di ujung pisau sepi.

No comments: