Friday, December 12, 2008

Nonton Film Dokumenter

Menyaksikan pembukaan Festival Film Dokumenter #7 2008 bersama Komunitas Dokumenter di Gedung Sosietet Taman Budaya Yogyakarta, sabtu malam 6 Desember 2008 yang baru lewat aku menikmati suguhan film pembuka yang bertajuk Operation Homecoming: Writing the Wartime Experience besutan Richard Robbins yang berdurasi sekitar 81 menit. Sebuah film hasil Pendanaan Pemerintah Amerika Serikat dalam bidang kesenian (The US National Endowment for the Arts) yang mengirimkan penulis berpengalaman ke Afganistan dan Irak untuk memberi lokakarya tentang penulisan kepada sejumlah tentara Amerika. Maka jadilah film dokumenter karya Richard Robbins ini bertabur puisi, cerita fiksi, surat, buku harian serta riwayat hidup disamping tentunya juga wawancara dengan tentara Amerika yang mengungkapkan pandangan pribadi mereka mengenai perang. Tak ketinggalan para veteran yang ikutan nostalgia serta nukilan karya para penulis serta filsuf menjadikan film ini lebih bermakna luas daripada sekadar film perang.


Beberapa testimony yang diungkap oleh perajurit yang rata-rata belia membukakan mataku, bahwa perang bukan sekadar persoalan picisan menang kalah pun juga bukan perkara remeh seperti menguasai dan dikuasai. Ada semacam kebanggaan dan rasa menjadi bagian dari yang mewarnai sejarah adalah perasaan lain yang muncul dibenak tentara remaja itu. Perjuangan mereka menaklukkan rasa ngeri saat berhadapan dengan moncong senjata lawan serta pacuan andrenalin yang gegap gempita saat peluru berseliweran diatas kepala mereka.
Bisa jadi aku tidak pernah mengalami peperangan seperti yang dialami oleh bapak maupun kakek buyutku dahulu saat mereka berjuang untuk menendang pantat Kolonial yang kurang ajar mengangkangi ibu kita yang pertiwi Indonesia. Namun yang kudengar dari cerita mereka yang mengalami maupun lewat pembacaan melalui wacana sejarah, perjuangan para orang tua kita dulu tak kalah heroiknya dengan yang kulihat di layar sosietet malam itu.
Sebuah ironi memang saat aku menyadari bahwa ruangan tempat aku nonton film tadi ternyata juga hasil produksi kolonial Belanda yang meninggalkan gedung semewah sosietet untuk memutar film yang menyalakan semangatku sebagai rakyat jelita di negerimu Indonesia. Bahkan aku sempat berandaiandai, kalau saja dulu kita tidak dijajah Belanda, belum tentu kita memiliki gedung seanggun sosietet ini. Tapi tentunya tak perlulah kita berpikir untuk dijajah lagi agar seenggaknya bisa membangun negeri ini menjadi kurang lebih setara dengan Eropa maupun Amerika sekalipun. Tapi kadang asyik juga mungkin kalau ada perang lagi, setidaknya bisa mengurangi jumlah pengangguran serta biar nampak ada kegiatan gitu lho.

Film yang juga sempat kutonton adalah Peace Mission karya Dorothea Wenner yang berdurasi sekitar 80 menit bikinan Jerman tahun 2008. Kalau hanya membayangkan judulnya kita bisa saja terkecoh. Film ini tidak menggambarkan sebuah misi perdamaian tertentu, namun sebuah rekaman perjalanan seorang pejuang sinema wanita dari Nigeria yang akrab dipanggil sebagai Peace. Nona Peace adalah putri dari pengusaha minyak berkebangsaan Nigeria, sebuah negeri di Afrika yang berpenduduk 50% Muslim dan 50% Katholik. Nah, Nona Peace ini punya misi untuk menjadikan industri perfilman di Nigeria (Nollywood) bisa sejajar dengan Hollywood (AS) maupun setidaknya Bollywood (India). Dengan jumlah produksi film mencapai 2000 judul pertahun disebuah Negara seperti Nigeria, tentunya bukan sesuatu yang mainmain bahkan boleh tuh disebut sebagai bukan main! Lantas dari mana mereka mendapatkan dana untuk memproduksi filmfilm sebanyak itu? Ternyata sebagian besar produksi film di Nigeria ditopang oleh industri minyak keluarganya mbak Piece tadi. Saya ikut berdoa, semoga Nollywood segera dikenal menyusul Bollywood dan Hollywood yang sudah lebih dahulu dikenal masyarakat dunia. Tentu saja dengan cara bukan hanya memperbanyak jumlah produksi filmnya tapi juga mesti menggeser mindset yang selama ini dipaksakan bangsa barat (lagilagi kolonial) dalam melihat Afrika. Perfilman Afrika harus menampilkan wajah Afrikanya sendiri dalam bahasa sinema, bukan sekadar wajah sinema barat dalam bahasa Afrika, nanti seperti tetangganya di Asia yang berjudul Indonesia itu lho, yang sampai hari ini belum menemukan wajah sinema Indonesia kecuali pemeran dan bahasanya namun pola ucap sinemanya selalu berwajah barat. Atau janganjangan negeri ini diamdiam sedang menyiapkan diri untuk jadi Dollywood? Kalau itu yang terjadi, no comment dech.

Hold Me Tight, Let Me Go karya Kim Longinotto dari United Kingdom yang berdurasi sekitar 100 menit produksi tahun 2007 ini menceritakan tentang rumah singgah bagi anak-anak dalam kondisi yang tidak biasa bernama Mulberry Bush di daerah Oxford. Berbentuk asrama dan dihuni oleh sekitar 40 anak yang tidak biasa karena mereka dikeluarkan dari sekolah, ngaco dirumah serta bermacam kenakalan anak-anak yang orangtuanya sendiri sudah angkat tangan. Disini kita bisa melihat betapa kesabaran ternyata menjadi kata kunci memahami perilaku yang tak biasa yang ditunjukkan oleh anak-anak yang agresif, destruktif serta hyperaktif itu. Sepertinya ujaran kesabaran itu ada batasnya tak berlaku dalam kamus hidup pengasuh asrama anak mbejijak di Inggris ini. Wajah letih mereka terhapus senyum bahagia saat mengantar anak-anak itu kembali ke keluarganya dalam kondisi wajar dan diterima kembali oleh masyarakat. Waw, kalau saja Lembaga Pemasyarakatan di negeri ini bisa mengadopsi metode mereka tentu penjara bukan lagi menjadi sekolah kriminal yang menghasilkan lulusan lebih lihai dan canggih dalam modus operandi tindak kejahatan pasti masyarakat akan hidup lebih nyaman dan pastinya saya tidak begitu sungkan lagi menyebut diri sebagai orang Indonesia.

Film lumayan menarik yang sempat kutonton adalah Mad About English karya Lian Pek dari Singapura yang berdurasi 82 menit produksi 2008. Film ini menggambarkan antusiasme masyarakat China menyambut Olimpiade Beijing dengan memperdalam penguasaan mereka terhadap bahasa Inggris untuk menyambut tamu-tamu dari banyak negara dengan bermacammacam bahasa yang datang ke China dalam rangka Olimpiade. Mau nggak mau seluruh lapisan masyarakat china dari Balita, remaja sampai tua bangka musti menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi yang dipahami oleh sebagian besar tamu Olimpiade. Bahkan seorang ahli grammar secara khusus berkeliling kota Beijing untuk menertibkan papan nama di wilayah publik yang nampak rancu. Sopir Taxi, pelayan restoran, serta siapapun yang berhubungan dengan orang lain berlombalomba menguasai bahasa Inggris. Beberapa guru bahasa Inggris khusus didatangkan dari Hongkong yang memang paling pengalaman dijajah Inggris. Poster Paman Mao yang nangkring di lapangan dekat Kota Terlarang (Forbiden City) seperti tersenyum sinis dan berkata,”owe bilang apa..bahasa kita (China tentu maksudnya) mustinya jadi bahasa nomel satu didunia..karena jumlah penduduk kita paling banyak di dunia, haiyyaaa..”

Film yang pengen kutonton tapi gak jadi karena tertahan di pabean adalah A Jihad For Love. Padahal film ini konon gak ada hubungannya dengan kekerasan atas nama perang suci seperti yang sering digambarkan oleh media barat pada umumnya Barangkali negeri ini kelewat “jihadophobia” tanpa sungguhsungguh mau mengerti apa sih sesungguhnya pengertian jihad itu. Jadi begitu mendengar kata jihad, stigma yang muncul adalah kekerasan. Inilah mindset salah kaprah yang mustinya harus segera di up grade kalo mau maju sebagai bangsa. Itu kalo mau, kalo ngga ya silahkan saja teruskan kekonyolanmu.

Hanya ini yang bisa kulakukan, kapankapan kita lanjutkan lagi catatan perjalanan CS berikutnya dilain kesempatan dan peristiwa…Salam.


1 comment:

putik said...

semoga film-film itu membawa angin segar bagi banyak orang untuk melihat lebih jauh indahnya dunia...

^^v