Pelajaran Moral Dari Komik1)
Ada yang menarik setelah aku nonton X MEN 3, The Final Stand. Sesuatu yang kudapatkan dari film yang diangkat dari komik terbitan Marvel ini ialah, betapa dimensi cinta menjadi Nampak begitu luar biasa. Kekuatan Cinta, aku membahasakannya demikian, ternyata mampu mengontrol ketidakseimbangan emosi pada diri Jean (Mutant dengan kekuatan tingkat 5, tertinggi di komunitasnya bahkan melampaui Charles Xavier maupun Eric Sang Magneto). Kenapa Jean jadi Nampak istimewa,
tentu disamping mutasi bawah sadarnya yang sulit ditengarai, juga adalah refleksi kesepiannya yang begitu mencekam. Sebagaimana halnya Marie si Rogue, dalam keterbatasan kelebihannya, lebih sering didera kesakitan akibat kesepian. Rogue sulit berhubungan dengan orang lain justru karena kelebihan mutasinya. Sebagai gadis yang sedang memasuki masa puber, tentu saja Rogue pengen juga ngerasain gimana sih ciuman, sentuhan serta aktivitas romantic yang sewajarnya dinikmati oleh remaja seusianya. Hal inilah kemudian yang membuat Rogue seperti menemukan harapan setelah Worthing mengumumkan penemuannya. Lantas bagaimana dengan kaum mutant sendiri menyikapi hasil temuan Worthing. Rupanya mereka terbelah pada dua opsi (penolakan dan penerimaan) sesuatu yang sangatlah wajar dalam kehidupan.Bagaimana kemudian ternyata Cinta menjadi obat yang lebih mujarab dari temuan manusia hasil kecanggihan teknologi sepanjang masa. Sebab cinta memang tidak bisa di produksi melalui sekadar kekuasaan ilmu pengetahuan. Ia (Cinta) hadir meruang memenuhi semesta merasuk kedalam sanubari siapapun saja yang dikehendaki. Lihatlah Jean, karena ketidakmampuannya dalam mengelola kekuatan yang ada dalam diri sendiri, maka kekasihnya Scott harus rela untuk mati atau entahlah (karena sampai film usai, tak pernah ditemukan jasad Scott, kecuali kacamata merahnya yang tak pernah berpisah dari dirinya selama ini).
Hal pengelolaan atau system manajemen barangkali yang perlu di stabillo dari kasus yang satu per satu muncul melalui perantaraan tokoh-tokoh dalam film ini. Ingatlah Cinta, saat kau saksikan bagaimana Logan sang Wolverin 'menjinakkan' naluri buas yang muncul dan tak terkontrol oleh kesadaran Jean. Dan betapa akhirnya cintapun rupanya telah menunjukkan jalan pembebasan bagi Jean meski harus ditebus dengan maut.
Kadang saya berpikir, kalau sedemikian agungnya pesan moral yang disampaikan komik Amerika, yang tentunya juga telah dibaca oleh sekian juta anak Amerika serta anak-anak dibelahan dunia manapun, kenapa bisa lahir monster bertubuh presiden seperti George Bush? Apakah George Bush belia termasuk anak yang dilarang membaca komik oleh orang tuanya, lantaran sebagian besar orang tua di dunia ini menganggap komik sebagai bacaan yang tak berfaedah dan lebih memilihkan bacaan untuk anaknya dalam standard berfikir orang tua. Bisa jadi memang bacaan Bush saat itu mungkin buku-buku tebalnya Machiavelli 'Ilprincipe' atau seenggaknya 'Mein Kampfe'nya Adolf Hitler yang mewariskan spirit berkuasa tanpa mengindahkan etik moral.
Orang tua dinegeri ini harus mau mulai lagi belajar kembali untuk tidak gampang melakukan penistaan (baca:Pelarangan) terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui persis kelebihan dan kekurangannya agar anak-anak bangsa kita tidak lagi kerdil wawasan karena diamputasi kreativitasnya oleh sistem pendidikan yang bodoh serta kapasitas menyedihkan dari guru sekolah yang hanya bisa mengajar tapi kurang mampu mendidik.
Beruntunglah saya yang sedari masa kanak-kanak telah terbiasa melalap komik. Karena kebetulan di rumah saya dipakai untuk Taman Bacaan yang cukup legendaris di jamannya yaitu Taman Bacaan Triyoga, di daerah Ngampilan Yogyakarta. Tradisi membaca (bukan hanya komik) pun juga cerita silat model Kho Ping Hoo, Gan KL, OKT serta roman sejarah seperti SH Mintardja dan Herman Pratikto pun bahkan majalah popular bulanan Intisari serta yang lainnya. Untuk bagian adegan hidupku yang seperti ini, aku ucapkan terimakasih mendalam atas nama cinta kepada papa dan mama di surga. Karena lewat mereka dan juga kakak-kakakku yang pernah ada, saya belajar mencintai kehidupan ini. Sebab dalam hal memilih, aku lebih memilih untuk berpihak pada kehidupan. Meski sama-sama heroiknya, ketika kita menyaksikan orang sekarat menjelang maut maupun bayi lahir, aku kok lebih bahagia saat mendengarkan tangisan bayi daripada rintihan eksotis ketika ruh terpisah dari raga.
Maka kalau saja kita percaya, bahwa cinta bisa berbuat lebih maksimal lagi bagi hidup yang lebih baik. Kenapa tak juga sekalipun kau terima uluran tanganku yang terbuka menantikan kau hadir dipelukanku sebagai sepasang kekasih yang dirindukan rembulan saat purnama menghiasi langit dengan wajahnya yang berbinar. Ra, lebih dari apapun. Kita bisa mulai kapan saja. Aku menunggumu. Itu juga kalau masih ada sejumput percaya dalam bathinmu buat aku. Doakan agar aku tak lekas lelah menanti dirimu. Sampaikan salamku buat keluarga di rumah. Bagaimanapun bila saatnya tiba nanti, aku juga akan menjadi bagian dari mereka semua dan kaupun bagian dariku dan keluargaku. Semoga ada merger yang menarik dikemudian hari.
1). tulisan ini pernah juga di posting di Catur Stanis Page (http://caturstanis.multiply.com)
Teriring salam untuk Putra Mahardhika dan kawankawan di Wizard Magazine Jakarta
Orang Miskin Dilarang Bercinta
Membaca tulisan di dinding sel yang kutinggali saat ini, aku dikejutkan oleh sebuah tulisan yang berbunyi,"Orang Miskin Dilarang Bercinta". Semula aku nggak begitu serius memperhatikan tulisan itu, namun lama kelamaan bathinku semacam digedor oleh sejumput rasa penasaran yang aneh. Benarkah orang miskin dilarang bercinta. Atau sebegitu mahalnya harga cinta di era merebaknya kapitalisme ini. Atau jangan-jangan, cinta tengah di jadikan komoditi ekspor non migas setelah kita tak mampu lagi meyakinkan tuan pongah yang bernama Paman Sam untuk sekadar meluangkan senyumnya yang berupa goodwill serta bermacam konsesi bagi sebuah negeri yang kesanggupannya baru pada taraf mengekspor pasir untuk lantas kemudian di jejali sejumlah benda olahan dari pasir itu menjadi sebentuk barang konsumsi yang diburu setengah mati oleh para penghayat modernitas yang keblinger dan akhirnya jatuh ke dalam genggaman mulut manis Sang Tuan Tanah yang sebagian besar pendapatannya dari merentenkan kekuasaan yang berbau modal itu.
Sejak aku mengenal sepak terjangnya yang bermuka dua itu, aku jadi di hela sangsi akan kesungguhan perhatiaannya. Standar ganda yang diterapkannya sungguh bikin aku pengen muntah.(cuman sayang, tak ada material yang bisa aku muntahkan, lantaran perutku lebih banyak terisi angin dari pada sebongkah makanan misalnya. Maka kentut menjadi katup pelepas yang cukup melegakan ditengah situasi yang tidak bisa tidak merubah wajah dunia menjadi tak berkarakter. Sedari mula aku telah sadari. Bahwa tidaklah mudah dan sederhana menemukan Perawat Cinta itu.
Aku jadi ingat kisah seorang kawanku, yang tak mau lagi meneruskan kuliahnya lantaran ia tak begitu lagi percaya pada system pendidikan di negeri ini. Orangnya sebenarnya lumayan cerdas. Bahkan kalau hanya sekadar mencari posisi aman, menjadi dosenpun bukan perkara yang sulit untuknya. Cuma yang jadi masalah adalah karena dia sendiri telah menutup keinginannya untuk menyelesaikan perkuliahannya dijenjang pendidikan tinggi itu. Keluarganya sebetulnya tidak kurangkurang amat dalam memberikan perhatiannya. Keluarga mereka memang tidak seperti keluarga pada umumnya. Bahkan tingkat ketidak umuman nya sampai pada kondisi mendekati absurd. Meski juga seperti yang kubilang, tentu tidaklah begitu absurd-absurd amat.
Kebetulan kedua orang tuanya sama-sama bekerja. Papanya yang pensiunan militer itu (purnawirawan kali yee!), di pekerjakan kembali, atau istilah kerennya di"karya"kan kembali disebuah institusi kenegaraan yang berjudul Sekretariat Negara, sementara Mama nya adalah pensiunan pegawai negeri di kantor Gubernuran, Kepatihan. Dari ilustrasi ini bisa dibayangkan, cukup aman sebetulnya posisi ekonomi kawanku itu. Apalagi posisi dia sebagai anak bungsu tentu mempermudahnya untuk mendapat akses kasih sayang serta cinta dari keluarga(cieee!) pendek kata dalam urusan bahagia, pasti dia tergolong pakarnya.
Lantas kemudian apa yang membuatnya galau sehingga sepertinya kehilangan rasa syukur nikmat yang mestinya bisa dia pelihara sampai hari kiamat. Ternyata urusan kasih sayang itu tak sesederhana dengan terpenuhinya segala materi duniawi. Sampai di bagian ini, aku sering menyesali, kenapa dia harus memakan buah sebelum waktunya tepat. Tepatnya dalam usia semuda itu dia telah mencoba untuk memasuki dunia orang tua semacam kasepuhan (dalam kejawen) serta Tasawuf (dalam islam). Maka jadilah ia sebagai orang tua dengan kostum anak muda bisa dibayangkan ngga sich, betapa ngga matchingnya.
Ditengah situasi yang membuat temanku itu Nampak aneh dimata teman-temannya rupanya diam-diam dia sedang merencanakan sesuatu untuk masa depan. Sampai-sampai kawan-kawan di kampusnya waktu itu menjulukinya sebagai perpustakaan berjalan (untuk mengimbangi penyebutan Apotik Keliling bagi para pengedar pil) tapi bahagiakah kawan kita itu dengan predikat-predikat yang disandangnya? Atau justru ia tengah bersembunyi berpayungkan kamuflase itu?
Mungkin lebih tepat kalau kita tanyakan langsung padanya kelak bila kalian menjumpainya. Beberapa kawan, sering menyesalkan keputusannya untuk meninggalkan kampus (padahal tinggal 22 SKS lagi dari 122 SKS yang telah ditempuhnya untuk 144 SKS yang semestinya diselesaikannya). Tanpa mengurangi rasa hormat bagi kecerdasan dan dedikasinya bagi teater, aku akan mengacungkan sepuluh jempol andai aku memilikinya.
Ada sementara orang, bahkan sempat melihatnya keluar masuk Sarkem (flower market, southern Tugu Railway Station) tempat mangkal penjual daging ons-onsan yang legendaris nan tak lekang oleh jaman itu. Apa yang dilakukannya didalam sana tentu hanya dia yang tahu. Apakah ia tengah melakukan observasi untuk naskah dramanya yang baru atau tengah meneliti jenis penyakit social lainnya. Atau bisa jadi ia tengah terobsesi untuk melakukan pengulangan adegan tertentu yang dirasa nikmat buatnya.
Yang membuat saya kadang miris sembari meringis ngeri adalah pembaiatan dirinya sebagai Homo Theatricus dengan sebuah ikrar," I give my live to die in the theatre forever". Meski kini kita lebih sering menyaksikannya sebagai penonton titer daripada pelaku. Meskipun dia juga cukup aktiv sebagai seorang moderator dari sebah milis tentang teater yang kalau nggak salah bernama Ngobrolin_Teater.
Sehari Sebelum Galungan
Hidup serupa tangan-tangan gaib yang melilitkan benang tak kasat mata ketubuh
kita dan lantas menggerakkannya semauNya.(Catur Stanis,2007)
Matahari masih saja nongol malu-malu, saat kau bangunkan aku sepagi shubuh itu. Perjalanan yang meletihkan serta suasana sejuk menjelang pagi itu membuatku nikmat untuk berguling-guling di ranjang mimpi. Sementara di dapur, nyonyamu tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Aroma masakan menyengat membangunkan cacing-cacing di perutku. Aku beringsut bangun saat kau lempar seperangkat alat mandi menerpa tubuh dan mukaku.
"Hari ini adalah hari Penampahan," ujarmu singkat sembari menyiapkan bambu berhias janur (daun kelapa yang masih muda).
Aku lantas ingat, besok pagi adalah Upacara Peringatan Hari Raya Galungan, setelah kemarin aku turut menyaksikan pemotongan (untuk tidak menyebut sebagai pembunuhan) hewan sebagai lawar dan sesajen. Dan ini hari adalah kesempatan terakhir untuk memancang Penjor di sekitar pintu pagar rumah. Kadang pikiran nakalku berandai-andai, kalau saja kelak bambu khusus buat Penjor itu sudah langka dan sulit ditemukan lagi, akibat rakus manusia mengekploitasi alam serta meningkatnya kawasan hunian/pemukiman. Apa tidak mungkin, kelak pipa besi mengganti fungsi bambu, yang tentu saja akan berbeda muatan filosofisnya. Semoga saja yang berwenang di kementrian lingkungan hidup, segera melestarikan tanaman bambu tersebut, agar saudara-saudara kita umat Hindu, tak perlu kesulitan dalam menyelenggarakan upacara ritual yang menggunakan bambu sebagai salah satu property penyangganya.
Bahkan tadinya aku hampir saja mengira ini sekadar mimpi, saat terbangun dari lelap tidur tadi pagi. Karena yang ku ingat aku masih berada di Solo, setelah kemarin dulu,(25/6/2007) aku berangkat ke kota itu bersama kawan-kawan Sanggar Nuun, yang mengadakan pentas teater keliling di Solo-Salatiga-Semarang dan Jogja. Lantas sehari sesudahnya,(26/6/2007) Thendra yang di"kawal" Brekele, serta Indrian Koto serta Sukma dan temannya datang di acara Temu Penyair Mahasiswa Solo-Semarang-Purwokerto di Teater Arena TBS.
Aku tak habis pikir dengan perjalananku ini. Beberapa malam lalu aku masih terlihat sliwar-sliwer (lalu-lalang) di Jogja, tiga hari yang lalu aku berkeliaran di Solo. Dan sekarang karena kuasa SUPERVISOR AGUNGKU yang telah menggerakkan seseorang yang baik hati seperti Wayan Sapra yang sudi menerimaku menginap di pondoknya di Peliatan, beberapa kilometer dari Ubud yang tersohor itu. Kami bahkan sempat lewat bekas rumah yang dulu pernah di diami Blanco serta seorang perupa berkebangsaan Jerman yang sayang sekali ku lupa namanya, perupa dari Jerman itu konon ikut membidani lahirnya Tarian Cak/Ketjak yang ternama itu.
Jadilah pagi menjelang siang ini aku mandi di sungai yang jernih dengan bebatuan yang cukup besar. Sebuah lanskap alam yang luar biasa. Saat aku turun ke sungai untuk mandi, aku di sergap rasa malu yang luar biasa. Tanpa sadar aku segera menutupi bagian vitalku dengan kedua belah tanganku. Sesaat berendam dalam sejuk dingin air sungai yang mengalir jernih itu, kudengar beberapa perempuan desa berbisik agak keras kepada sesamanya,"Ternyata burung orang Jawa itu mirip senter ya…" Meledaklah ketawa di antara mereka, akupun melengos malu sembari membenamkan tubuhku di air. Namun aku cukup lega juga, karena mereka para gadis yang sempat melihat "burung"ku itu hanya memperhatikan bentuk burungku yang berbeda (karena punyaku di sunat, sedang kebanyakan lelaki disana nggak), sementara mereka tidak begitu mempersoalkan ukurannya.
Sambil menikmati aliran sejuk air alam itu, lamunanku melayang pada peristiwa heroik saat Ki Maya Denawa, seorang raja yang di kenal kejam dan bengis itu tersungkur roboh di tangan Dewa Wisnu dan Dewa Indra yang sakti dan bijaksana dalam sebuah pertempuran yang cukup seru. Peristiwa inilah yang kemudian di peringati sebagai Hari Raya Galungan, yang bisa juga dimaknai sebagai perayaan kemenangan Dharma (perbuatan baik) melawan A-dharma (perbuatan jahat). Sedangkan Galungan sendiri berasal dari kata Gal dan Lungan. Gal berasal dari kata penggal atau panggul sedang lungan bisa juga diartikan sebagai patah atau patahan.
Ah, mungkin terlalu nyaman aku berendam di sungai ini hingga hampir saja aku lupa kalau sore ini aku harus segera berkemas meninggalkan Bali dan terbang kembali Jogja, (padahal aku pengen banget menikmati saat Kuningan di sepuluh hari kedepan, sambil juga menikmati suasana Tumpek Landep serta penghormatan bagi Dewi Saraswati dan yang lainnya). Untuk sebuah perhelatan Hari Minggu Yang Berteater dalam rangkaian acara pasar seni FKY XIX-2007, besok pada hari minggu tanggal 1 juli 2007, aku tinggalkan Bali untuk sementara, sampai saat waktu memungkinkanku kembali kesana lagi. Semoga saja.
Terimakasih Kesempatan!
Lantas Segalanya Berlalu...
Balik ke Jogja, disambut hujan yang aneh. dengan kereta Prameks yang interiornya mirip-mirip kereta di film My Sassy Girl, film korea yang bikin andes nangis (kau tau kini betapa cengengnya dia serta konyol tentunya)Ke FKY sebentar, ketemu Iwan dan Performance Clubnya, Cutter serta Buyung Mentari yang menyalamiku hangat setelah kita berpisah di Art Camp. Kudengar kabar Kang Wawan meninggal di Rumah Sakit di Jakarta setelah kelelahan dengan kanvasnya di Ancol. Kemarin bergelasgelas Ciu Bekonang menggelontor tenggorokanku lantas kini berliter La Pen memberondong lambungku...kapan lagi bisa kucecap setetes Arak Bali? (hehehe,ketawa yang perih) Minggu sore,meramaikan Story Tellingnya Hindra di Selasar Utara Beteng Vredeburg, bersama Umar dan yang lain. Ketemu Uung yang makin gimana gitu? Setelah Gintani menraktirku dengan es teh, rasa hauspun beranjak lalu. Ah, Aku merasakan, kini tulisanku jadi begitu kosong. Tanpa denyut, tak berdarah serta pucat pasi. Setelah segalanya berlalu sebaiknya kusudahi saja. Inilah Bunuh Diriku kemudian. Memilih untuk diam dengan segenap keutuhannya
Edited by Catur Stanis in Koto’s Room on 26 September 2008 at 00:04 WIB
No comments:
Post a Comment