Friday, September 26, 2008

Risalah Risau

Sekadar Catatan Tentang Temuan :
Malam yang ganjil usai berbuka puasa aku menemukan tulisantulisan lamaku yang dulu sempat nongkrong di blog Friendster seputar tahun 2007an atau 2007-2006 barangkali, entahlah. Aku senantiasa gagap mengingat tahuntahun lewat serta sering pula lupa mencatat. Ucapan terimakasih tentunya layak kusampaikan kepada Indrian Koto yang telah menyimpannya di komputer hingga bisa kupindai kembali serta kuhadirkan lagi lewat Blogspot ini.
Sekali lagi ini tulisan lama semoga masih layak di baca, terutama bagi yang belum sempat membacanya di Friendster, bagi yang sudah pernah itungitung semacam nostalgia, pendek kata selamat menikmati saja.

Kenapa akhirnya aku memilih Risalah Risau sebagai tajuk kompilasi tulisan ini, barangkali alasan sederhananya adalah “kerisauanlah yang menjadi picu pemantik nyala hasratku menorehkan catatan ini waktu itu”. Mungkin.
Kepada siapapun saja tentunya maklum kalau aku sekarang lebih sering terlihat berpacaran dengan SunYi meski dulu sekali pernah juga mencoba mendekati Ra dan May yang fenomenal itu, setidaknya fenomenal buat diriku,hehehe.
Okey dari pada ntar jadi lebih panjang pengantarnya dari pada yang diantar ada baiknya kusudahi cicitcuit ini, selebihnya selamat membaca sajalah…
Dear, Ra.
Dengerin lagunya White Lion yang bertajuk You're All I Need bareng Kangen-nya Dewa 19 sambil menghisap sebatang Dji Sam Soe ditemani seteguk kopi pahit. Aku jadi ingat Pub Ringan, ingat Jogja, ingat kawankawan yang terjebak di kenyamanan Jogja, ingat kamu. Ah, biadab betul kenangan itu. Yang membuatku mati kutu di tempat yang jauh ini. Di hamparan gedung bertingkat 231 lantai ini. Aku tak sungguh sungguh memimpikannya untuk ada di negeri kita Indonesia. Di tempat yang jauh dan tinggi ini aku melambaikan tanganku. Sia-sia. Sebab tak seorangpun yang kukenal dan mengenalku di tempat yang super asing ini. Aku sendiri tak benar mengerti, kenapa aku bisa berada di sini. Tempat yang dulu sesekali hanya bisa kubayangkan ataupun ku tonton di TV yang tak begitu jelas gambarnya di Pub, dulu sekali.
Kini dalam dekapan teknologi ultra modern, aku terdampar di sebuah tempat yang super canggih dalam balutan obat-obatan dari teknologi yang luar biasa sophisticated. Ah, kalau saja ini mimpi. Pasti aku ngga ingin bangun lagi. Serupa saat bertemu denganmu berabad yang lampau. Mungkin benar kata beberapa kawan, pertemuan kita hanyalah lintasan peristiwa. Mungkin pertemuan di Pub Ringan tertanggal 23 Januari 2007 silam, hanyalah pertemuan yang kesekian. Bukan pertama memang. Mungkin kita pernah ditemukan kelak di masa lampau. Di satu waktu yang tak terjemahkan. Di situasi yang membuat kita gagu dan buta untuk menyadari.
Ra, aku hanya bisa merasakannya. Tak kurang apalagi lebih. Sebab lebih dari yang terucapkan oleh setiap symbol, aku seperti mengenalmu jauh sebelum kita ketemu di malam biadab 23 Januari 2007 itu.
Ra, bisa saja kau mengira aku tengah merayumu dengan rayuan klise tentang sebuah dongeng yang dituturkan oleh para leluhur. Tidak Ra. Yakinlah aku tidak sedang ingin merayumu. Aku hanya tak ingin berbohong padamu. Aku hanya tak mau menipumu. Aku, hanya mau bilang padamu. Bahwa kita telah dipertemukan suatu waktu. Hanya Kau dan Aku tanpa yang lain. Ya, hanya ada kau dan aku Ra. Ah, kegilaan cap apalagi ini? Ditengah ketatnya dateline yang harus kupenuhi. Di situasi yang membuatku pengap oleh meeting demi meeting dengan banyak klien dari seluruh penjuru dunia. Di kepulan sergapan kesibukan yang menguntit siang malamku, selalu saja kamu datang diam-diam menyelinap untuk kemudian melempar seutas senyuman.
Ra, membaca senyummu dalam pejam bobokmu di sofa tempo hari. Aku merasakan surga dalam genggaman tanganku. Maaf kalau membuatmu kaget saat kau terbangun dan melihat aku duduk disisimu. Sungguh aku tak ingin membuatmu kaget. Aku hanya kangen setengah mati. Aku cukup menikmati nyenyak tidurmu waktu itu. Membayang Kamajaya menunggui Dewi Ratih yang lelap karena kelelahan sepulang dari acaranya di kampus. Whooooaaaahhh!!! Aku sudah gila rupanya.
Dan kegilaan termanis adalah ketika menjadi kekasih gelapmu. Gelap, lantaran kau tak sungguh mau tahu kalau aku mencintaimu.Sesekali dengerin aja lagunya White Lion diatas, kau akan tahu betapa dahsyat rasa sayangku padamu. Itu juga kalau elo mau kalau ngga, yo wis!
Pada Suatu Ketika
Duduk sendiri di bangku Plasa Sastra, aku dikejutkan oleh kedatangan Profesor
yang begitu tibatiba. Dan tibatiba saja tanpa memberiku kesempatan bernafas
sejenak dia telah melancarkan pukulannya bertubitubi.
"Kenapa kau tak menulis lagi Nis?"
"Masa itu sudah lewat Prof."
"Ah, masa. Kulihat tulisanmu akhirakhir ini banyak menghiasi Blog di FSmu."
"Itu sekadar pemanasan Prof, belum apaapa."
Profesor mengangkat alisnya dan memperbaiki posisi duduknya agak nyaman
bersandar di bangku panjang itu. Dua cangkir Coffee Late dengan taburan cokelat
diatasnya menerbitkan selera.
"Bagaimana dengan perjalananmu ke Bali kemarin?" pertanyaan yang begitu menohok
dan langsung menancap di bibir bathinku.
"Lumayan. Tapi terlalu singkat. Karena aku harus terbang lagi ke Jogja untuk
Minggu Yang Berteater".
"Sudah dengar soal "heboh sastra" seputar FKY?"
Aku purapura kaget dan mengangkat bahuku pelan sembari mukaku kusetel bloon.
"Ngga usah akting gitu. Aku tahu kamu memang aktor…"
"Pernah tepatnya. Itu dulu, dulu sekali. Sebelum segala sesuatunya berubah
begitu cepat."
"Kamu tidak siap dengan perubahan ya?"
"Siapa bilang!"
"Kamu sendiri. Tidak secara verbal memang. Tapi cukup menjelaskan."
Kali ini aku mengernyitkan dahiku sungguhan. Non akting, benerbener natural.
"Ngaku aja, kamu bingung to?"
Seperti biasa aku tersenyum dalam fase yang tak terjemahkan. Sesaat melintas
Fira. Melambaikan tangan sejenak dan lenyap ditelan dingin malam. Aku mulai
merapatkan jacketku. Hawa dingin yang menusuk mengebor bathinku yang tibatiba
kosong.
"Kenapa diam?"
"Ah, nggak."
"Oke, kita ganti topik aja kalau begitu."
Serasa aku seperti didepan ruang sidang dewan dosen. Ini bukan pendadaran
mestinya. Kecipak suara air kolam itu memudarkan kesunyian.
"Kenapa kau mesti berhenti?"
"Maaf, bukankah itu pertanyaan yang sama?" aku bertanya ragu.
Profesor tersenyum sambil memainkan kacamata minusnya.
"Tapi kau belum jawab pertanyaanku"
"Aku tidak pernah sungguhsungguh berhenti. Aku terus melakukannya Prof. hanya
saja indonesiamu ini tidak begitu sungguhsungguh menganggapku perlu ada."
Profesor terbatukbatuk dahsyat. Setelah agak reda batuknya ia meneruskan.
"Kenapa tidak kau mulai saja dengan melihat dengan cara yang berbeda?"
Aku diam tak mengerti.
"Kalau kau melalui pintu yang sama yang telah mengecewakanmu.kenapa tak kau coba
melewati pintu yang lain. Bukankah masih cukup banyak tersedia pintu. Dan kalau
memang tak lagi kau temukan pintu, kukira kau cukup cerdas untuk memasukinya
tanpa melalui pintu apapun. Bukankah itu kelebihanmu. Memilih jalan yang tak
banyak dilalui orang."
"Tapi,…" Aku ragu meneruskan.
Profesor terbahakbahak menyaksikan kegugupanku.
"Aktor Penyendiri Yang Lebih Menyukai Kesunyian. Sampai kapan kau akan
bertahan?"
Nona mendatangiku setelah berbasa yang cukup basi dengan Profesor. Sesaat
setelah professor berlalu.
"Kemana aja Mas?" rengeknya manja.
Kenapa dia? Kenapa bukan Ra. Padahal jauh diseberang bathinku yang berdebu oleh
lumut waktu, aku selalu berharap Ra datang menjengukku. Untuk sekadar menorehkan
senyuman yang mutlak bahasanya itu. Mendengar suara Ra saja, aku serasa jadi
astronot yang piknik ke bulan. Apalagi kalau aku tayangkan kembali lintasan
adegan waktu itu. Saat kami tertawa berkarungkarung di pojok warung sambil
menikmati buah Wani. Wow seolah surga dalam dekapan dech.
"Idih, ditanya kok diam aja sich. Kangen ama mbak Ira ya?"
"Lho kok tahu?"
"Emang kamu serius ama dia?" cocornya membesut ku kesudut.
"Kamu adalah orang yang kesekian milyar yang menanyakan hal itu. Emangnya kenapa
kalau aku serius? Itu kan urusanku. Kenapa juga kalian yang ribet."
"Ih, kok jadi sewot gitu sech?"
"Bukannya sewot, aku tuh cuman ngga abis ngerti. Apa sich yang membuat kalian
jadi heboh melihat hubungan kami. Mbok biasa aja. Kayak infotainment banget sich
elo."
"Tuh, kan marah kan…"
"Aku ngga marah sama kamu dan orang-orang sepertimu. Aku cuman ingin, semua
orang siapapun dia ngeliat ini sebagai sebuah kewajaran."
"Ngga takut kecewa?"
"Kupikir itu konsekwensi logis."
Aneh juga orangorangan ini. Kenapa mereka meributkan soal perkawinan. Padahal aku tidak pernah mengajak Ra menikah dalam waktu dekat ini. Aku hanya merasa menemukan teman yang asyik buat ngobrol. Pembunuh sepi yang cukup piawai. Aku memang tak pernah sembunyi mengaguminya. Tapi itu bukan alasan untuk memperistrinya kan. Dia merdeka dengan pilihannya. Toh terpautnya rasa dua hati tak harus diakhiri dengan pernikahan kan. Kalau kami enjoy begini, kenapa dunia jadi ngga begitu nyaman buat di huni?
Ah, kalian. Selalu saja melihat dari sisi keliatannya. Dan lebih cenderung menebalkan sisi perbedaan itu. Biarin aja berbeda, yang penting asyik. Ra, kau mesti jawab itu. Jangan diam aja donk. Mereka menyangka aku ingin mengawinimu padahal aku ingin menjadi kawanmu. Aku ngeri membayangkan kau menjauh dariku. Kembalilah seperti waktu itu.
Kalau boleh aku berterus terang, aku bahagia banget saat kau datang malam itu. Ra, maafkan kenaifanku. Maafkan bila yang terjadi membuatmu terluka. Kumohon jangan benci diriku karena cintaku. Ampuni diriku yang membebanimu dengan rasa rindu. Tetaplah seperti itu. Tetap menjadi kupukupu yang lucu. Aku akan kembali kesudut pilu muara sepi mendekap sunyi menggigit jari.
Sayang Ada Orang Lain
Telah lama tak kuterima lagi SanDek (pesan-pendek,kata lain untuk SMS yang kebaratbaratan itu), mungkin dia cukup sibuk buat merawat diri sampai lupa atau tepatnya melupakan yang ada disini. Ah, segera kutepis prasangka tak menentu ini. Aneh ngga sich, kalo lagi kangen bawaannya pengen ketemu terus. Padahal juga ntar kalo udah ketemu palingan juga cuman diem-dieman and saling curi-curi liat dari jarak yang cukup jauh tak tersentuh. Ada masa dimana aku gak bisa jauh darinya. Bawaannya pengen deket terus. Cuman asyiknya, kita berdua kan tergolong makhluk yang lumayan sibuk, makanya kita jadi jarang ketemu biar tetap berlangsung itu rindu.
Pernah sekali waktu kuragukan hubungan kami, dan aku mencoba mencari cem-ceman lain. Tapi herannya, semakin aku nyoba buat ngejauh, eh dianya malah makin getol aja nyamperin gue tiap waktu. Nggak malem, siang pokoknya kapan aja dan dimana aja dech. Seneng dech gue.(walo datengnya cuman lewat mimpi). Yang ngga mimpi adalah saat menemukan dia bobok di sofa pub satu ketika, dan aku menikmati pemandangan yang luar biasa dari pejam matanya. Meski Cuma bisa menciumi sepatu hitamnya, tapi cukuplah. Apalagi hubungan kami saat itu lagi benerbener berjarak.
Sesekali dateng "SanDek"nya yang ngasi tau dimana posisi dosky. Duh, serasa terbang dech gue. Abisnya lama banget ngga kedengeran kabar beritanye, tau-tau dah mo pamitan buat liburan pulang ke kampung halamannya, nyang di seberang pulau tu. Gue kan jadi gimana gitu.
$$$
Nyaris tak percaya, membaca ulang beberapa jajaran huruf yang membentuk kata dan terangkai menjadi kalimat serta sambung menyambung menjadi uantaian alinea diatas. Aku seperti dibawa ke masa silam, beberapa tahun lewat saat aku masih sering balik ke Cidodol, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Dulu Papaku pernah tinggal di situ. Dan kami sering kumpul waktu lebaran tiba. Kalau orang-orang lain, pada umumnya mudik ke desa-desa, dari dulu yang aku jalanin, eh jalani ding! Aku senantiasa mudik ke Betokaw alias Batavia atau Betawi.
Pernah dengar cerita, kenapa diberi nama Betawi khan?
Pada suatu ketika, di masa pendudukan VOC (Organisasi Dagang Belanda), Batavia dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal yang pastinya bule dari Belanda dong, masa Bule dari Hongkong sich. Asal elo tau istilah "Gubernur Jenderal" ini adalah sebuah pembahasaan dari istilah dalam Holland Sprechens "Generaal Governoer", yang dilestarikan di era yang konon merdeka dengan "Gubernur" (jadi jangan heran kalo di masa ORBA berkuasa, gubernurnya emang kebanyakan Jenderal, soalnya militer sich. Apalagi AKABRI, rektornya aja Gubernur) serta diikuti dengan latah di seantero penjuru Nusantara yang telah di Indonesiakan oleh Belanda. (bila ada waktu, akan kuceritakan kelak, betapa tidak orisinilnya keindonesiaan kita itu, lantaran aroma Belanda begitu kuat menguntitnya).
Back to case, saat itu Tentara Kolonial Belanda begitu kerepotan menghadapi sepak terjang prajurit Mataram di bawah komando Sultan Agung yang mengepung Beteng Pertahanan terakhir Belanda dari delapan penjuru mata angin. Bayangin aja, betapa kedernya Jaan Pieter Zoen Coen menghadapi strategi tempur Mataram dengan Gelar Sapit Urang1)-nya yang dimodifikasi dengan pola "hit and run"2). Saking nggak bisa apa-apanya, tentara Belanda itu rela untuk terkurung di dalam beteng mereka sampai berbulan-bulan lamanya. Lama kelamaan, persedian amunisi Belandapun ludes tak berbekas. Setelah putar otak cari akal, akhirnya Sang Jenderal mengerahkan anak buahnya untuk berak bersama-sama serta menjadikan tahi produksi Belanda itu sebagai senjata pamungkas untuk menghalau prajurit Mataram yang gigih berjuang. Maka moncong meriam yang beramunisikan tahi itupun segera di arahkan ke basis pertahanan prajurit Mataram yang berada di luar beteng. Bisa di tebak adegan berikutnya…Beberapa orang prajurit Mataram yang tengah asyik leyeh-leyeh ngaso di sekitar daerah yang sekarang bernama Matraman (untuk menghormati leluhur mereka yang enjoy disana dan nggan mudik ke Jawa) tiba-tiba disergap aroma yang merangsang perut untuk mual dan lantas muntah-muntah itu. Akibatnya seantero Batavia beraroma tahi. Dan saat dua orang prajurit Mataram yang terganggu istirahat makan siangnya itu berdebat seru diantara mereka.
"Nuwun sewu Ki Sanak, njenengan mambet mboten?"
"Nuwun injih. Kadosipun menika rak mambet tai to."
"Lha injih, napa ki sanak mboten ngraosaken. Awit sampun pinten pinten ndinten
menika, yen kula raosaken kok nggih pancen njijiki nggih?"
"Nanging saestu menika, mambet tai to kang mas?"
"Lha injih sampun cethu menika!!!"3)
Sambil menutupi hidungnya, dua prajurit itu berbicara terus tentang "mambet tai", karena artikulasi vocal mereka menjadi tidak jelas lantaran polusi udara yang luar biasa menjijikan itu, Mang Ikin, penjual Kethoprak yang biasa ngetem di deket-deket sono,nyang emang kupingnya kebetulan juga rada-rada bolot, dengerinnya,"Orang Jawa tadi bilang tempat ini namenye Betawi".
Bisa jadi ada versi lain. Kenapa nggak? Namanya juga cerita, kisah, dongeng. Aku toh bukan Guru Sejarah yang tengah bertutur di depan kelas diantara murid-murid yang setengah hati menerima pelajaran, karena kelewat sering di bohongi. Murid-murid SD pun tahu kalau setiap penguasa bisa memesan sejarahnya sendiri-sendiri. Bagaimana mereka ngga tau, kalo merekalah korban pertama dari sebuah sistem yang bodoh. Anak-anak itu menjadi korban dari keegoisan pendidik yang tak begitu cerdas menyikapi perkembangan serta didukung oleh sistem pendidikan yang ceroboh. Saat anak-anak SD itu mengeja kembali pelajaran Bahasa Inggrisnya, mereka menemukan: bahwa yang pas untuk menuliskan "sejarah" dalam bahasa inggris adalah "His Story". Pantas saja sampai mereka gede, sampai punya jabatan-jabatan tertentu di tempat-tempat itu tuh anak-anak yang bertubuh orang tua itu selalu pengen menuliskan sejarahnya sendiri. Seolah tak ada orang lain di dunia ini. Seolah tak pernah ada Jurusan Sejarah di kampus-kampus perguruan tinggi kita.Runyam.Kaco.Katrok.Celeng Mencret…
Dan memang begitulah. Emang elo pikir kehidupan ini baik-baik saja gitu apa? Emang elo tinggal dimana selama ini? Di negeri dongeng kali. Bersama Oky dan Nirmala dengan tongkat ajaibnya, serupa Doraemon dan kantong ajaibnya. Padahal setahuku Puri Nirmala itu Rumah Sakit khusus yang merawat orang-orang dengan kecenderungan Neurotic di bilangan Babarsari Jogja. Jangan-jangan kita semua memang tengah mengidap penyakit otak semua. Hingga kita tidak pernah lagi sungguh-sungguh tau mana yang baik mana yang buruk, mana atas mana bawah, mana kiri mana kanan. Mana di mana anak kambingnya di mana mana. Karena setiap penguasa membutuhkan peternakan kambing berwarna hitam, agar apabila ada salah-salah langkah didalam penyelenggaraan kekuasaannya, cukup sediakan kambing berwarna hitam siap eksekusi sebagai semacam lawar, mungkin.
Kembali ke fenomena kangen. Gimana Ra, kok SMSku ngga pernah di bales sich. Jijik ya ama aku? Oke dech. Makasih. Tanpa tersipu kulangkahkan kaki kembali menekuri sepi. Di Malioboro sepagi itu, dengan nasi bungkus dalam genggaman. Beberapa ekor lalat terbang rendah sekali, seperti sedang memamerkan manuver terbaru hasil kursus singkat Air Show. Ah, masa-masa indah saat menerbangkan jet tempur itu, cukup sudahlah jadi penghias buffet kenangan.
"Stanis, jangan lupa nanti sepulang Les Piano mampir ketempat Tante Dewi Listiana
buat ngambil pesenan Mama!"
Mamaku ah, selalu saja membuncahkan rindu. Kapan terakhir aku nangis di pangkuannya? Oh, ya saat Papaku marah besar dan aku di rantai di pintu pagar halaman depan rumah. Semua mata anak-anak tetangga menontonku. Mamaku menangis sambil menyuapi aku yang terikat tanganku dan jadi pertunjukan gratis para tetangga. Mama dan Papa yang ada di surga. Baik-baiklah kalian di sana. Di deket Tuhan, tentu tak perlu ada lagi pertengkaran khan? Tak perlu ada suasana tegang di rumah, yang membuat kami anak-anakmu lebih suka main di jalan. Dan di jalanan kami tumbuh liar di luar pengawasanmu. Sebab kami bukan pesakitan dan kalian bukanlah sipir penjaga kemerdekaan kami. Sering aku tak pulang ke rumah, menunggu lebam-lebam disekujur badan dan luka-luka ini mengering serta mampat. Agar kalian tetap melihat kami sebagai anak-anak manis, sholeh dan rajin menabung. Ah, kini aku sendirian di Jogja menjelang lebaran Mama dan Papa. Setelah semuanya menjauh, aku serupa Ahasveros4) yang di tolak kehidupan. Bahkan sekonyol apapun Sysyphus, dia masih lumayan enjoy hidupnya.
Seperti katamu Guru, "Meski telah kau untai seribu kata, namun pintu-pintu di Kepatihan, Bulaksumur, Notoprajan, Timoho. Tergembok rapat bagi akal sehat dan hati nuranimu"5).
Aku lelah Guru, tapi belum kalah. Semoga. Meski aku harus terus berjuang sekuat tenaga untuk menghimpit dengan batu sebesar gunung dua binatang buas yang saling cakar dan saling gigit didalam jiwaku. Akulah tlatah pertempuran itu sendiri. Siang malam yang kulakukan hanyalah menunggu dan menunggu. Sampai tiba Ra, kekasihku.
Ternyata tiga minggu itu lama nian ya?
:Glosary::
1.Gelar Sapit Urang adalah sebuah formasi tata keprajuritan biasanya untuk
kondisi musuh dalam posisi terjepit atau pasukan Mataram dalam posisi diatas
angin. Formasi yang lain seperti Garuda Ngleyang, dan lain-lain
2.Hit and Run, terinspirasi gaya bertinju Muhammad Ali yang sering dibahasakan
secara sastra menjadi 'menari bak kupukupu menyengat bagai lebah'
3. Coba aja cari dalam kamus Jawa-Indonesia, hahaha
4.Ahasveros adalah lelaki yang tak membukakan pintu saat Jesus di salib dan
kehausan. Ia merasa dirinya dikutuk sepanjang masa karena mengira Jesus benarbenar di
salib.
5.Nukilan Puisi EmHa Ainun Nadjib, Jogja Tak Menyapamu Lagi Antologi Puisi
'Sembilu'.
Melaju Bersama Prameks
Ra, melaju dengan kereta Prameks sore ini, ingatanku melayang pada film My Sassy Girl, film Korea yang cukup menguras airmata kawan-kawanku yang menyaksikannya, terutama yang berkategori cengeng tentu saja (hahaha). Tapi tentunya bukan pada bagian adegan muntah dikepala orang itu lho,(hehehe). Memang masih di adegan kereta itu juga yang kalau dicermati, interiornya agak-agak mirip Prameks ini.
Ra, beberapa hari terakhir ini aku memang lebih sering tinggal di kota yang konon masih bertalian darah dengan Jogja. Setidaknya dari wacana sejarah yang sempat kulirik diam-diam, Solo atau Surakarta Hadiningrat ini masih terhitung saudara tua dari Yogyakarta Hadiningrat. Dua keraton besar sisa pemenggalan kolonial Belanda yang akrab di kenal publik sebagai devide et impera alias ‘membagi dan menguasai’ seperti yang lazim dilakukan oleh sesuatu yang menguasai sesuatu yang lain. (haha, rasakan betapa njelimetnya bahasaku).
Ra, kalau untuk sementara ini aku lebih sering terlihat dan terlibat di Solo, ini bukan sekadar romantisme sejarah untuk membangkitkan lagi kenangan atas sebuah kota yang pernah melahirkan orang-orang sekaliber Rendra dan Sapardi Djoko Damono misalnya. Karena jangan-jangan Rendra maupun Sapardi sendiri tak begitu menganggap perlu untuk menyuntuki romantisme semacam itu. Tapi ini semata pencarian seorang Catur Stanis yang senantiasa memelihara diri dalam ‘kegelisahan nan tak kunjung usai’ itu. Sampai di kalimat yang terakhir itu, bathinku geleng-geleng sendiri sambil berdecak mencibir,”Ah..Lo bisa aja Nis!”
Dan memang itulah yang selama ini menyalakan semangatku untuk bergerak kewilayah yang seringkali sulit dipahami oleh kawan-kawanku. Mobilitas yang begitu tinggi serta luapan energi yang seolah tiada habis untuk menyuntuki kaum muda yang berkutat diwilayah kesenian khususnya titer (kata penyempurna dari teater yang kebarat-baratan serta nampak kurang cerdas bagi sebuah kata serapan).
Aku tidak ingin melulu sekadar memperbandingkan dua kota itu. Yang kulakukan lebih sebagai upaya penemuan kembali jejak yang telah lama hilang akibat kontaminasi yang ditinggalkan oleh kaki menjijikkan sepatu kolonial yang meluluh lantakan tatanan harmoni sebuah peradaban yang konon bernama Mataram.
1755 adalah awal pemecahan untuk penguasaan itu. Perjanjian Gianti atau sebagian menyebut sebagai Palihan Nagari (Palihan=Pembagian). Ada yang mengartikannya sebagai pembagian menjadi dua atau lebih. Mengingat pada perkembangannya, ulah Belanda itu tidak hanya menghasilkan Mataram yang terpecah menjadi dua, Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta. Pun juga memunculkan satelit-satelit baru yang bernama Mangkunegaran dan Pakualaman. Sebuah ironi tragis dari sebuah bangsa yang begitu mudah ditelikung oleh strategi licik kaum penjajah. Dan inilah fakta yang tak boleh hanya terhenti sebagai epos semata namun mestinya juga disikapi selayaknya reflektor untuk menyalakan kreativitas masa depan. Seperti ucapan gagah yang sering didengungkan oleh banyak pihak, hanya bangsa yang besar yang bisa memaknai peristiwa sejarah sebagai hikmah.
Lantas hikmah apa yang bisa kita panen untuk masa depan?
Adalah sebuah pengutuhan Konsepsi Joglo mestinya. Joglo adalah bentuk arsitektural bangunan yang banyak terdapat di daerah Jogja maupun Solo serta tentu saja di seantero Jawa bagian tengah serta beberapa bagian di timur. Tapi Joglo yang kumaksudkan disini adalah konsepsi sikap Jogja-Solo itu sendiri.
Bagiku yang lahir di era paska penjajahan Kolonial yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang merasa dirinya kuat seperti Eropa misalnya, adalah sebuah kekonyolan ketika harus memperbandingkan dan apalagi mempertandingkan hasil budaya dua kota Jogja dan Solo. Bukan pada persoalan kalah menang memang, pun juga bukan perkara siapa mempengaruhi siapa. Aku lebih melihatnya sebagai sebuah keasyikan tersendiri ketika aku harus menjahit kembali tatanan pergaulan yang robek itu.
Ah, sudahlah. Agak berlebihan kurasa mimpi kali ini. Sementara sebentar lagi laju Prameks akan segera berhenti sesaat di Stasiun Lempuyangan, untuk meneruskan perjalanannya sampai pemberhentian terakhir di Stasiun Tugu Yogya. Dan perempuan yang diamdiam memperhatikanku dengan seksama saat kutulis catatan diatas laju Prameks ini pun sebentarsebentar mulai beranjak dari tempat duduknya yang kebetulan tepat didepanku. Seulas senyum kusambar secepat kilat melupakan sejenak bayangan mu Ra, yang entah kenapa selalu saja menguntitku kemanapun ku berlalu.(kumohon bermilyar ampunanmu atas kenakalanku ini, sungguh melupakanmu adalah siksaan terberat bagi hidupku)
Mungkin sesela waktu nanti kuajak kamu Ra, naik Prameks ini. Sekadar jalanjalan mengunjungi Solo yang membuat bathinku berseri. Tidak seperti Jogja yang kenyamanannya membuat terlena itu. Bukankah dinegerimu yang jauh itu tak terdapat sebilahpun rel kereta api? Kayaknya asyik juga kalau kita pacaran diatas kereta yang melaju wira-wiri antara Jogja-Solo.
Edited by Catur Stanis in Koto’s Room on 25 September 2008 at 23:30 WIB

No comments: