Catur Stanis mencoba menjawab pertanyaan beberapa rekan dalam sebuah perbincangan di salah satu ruang publik di Jogja, suatu malam. Saat itu seperti biasa, Catur Stanis tengah asyik menekuri kesendiriannya dalam balutan aroma kopi yang kental dan tentu saja pahit. Yang juga turut hadir dalam pertemuan tak terduga itu adalah Mas Abimanyu seorang penyair muda yang buku kumpulan puisinya telah terbit, serta mbak Srikandi, penulis beberapa novel yang cukup atraktif.
Srikandi : Kenapa Anda memilih untuk bersikap konfrontatif terhadap lembaga seperti TBY?
Stanis : Pertama bisa jadi kekecewaan, tapi itu tidak begitu penting. Yang kedua dan terutama adalah justru penegakan nilai-nilai keadilan.
Abimanyu : (Menyela) Maaf, yang Bung maksud dengan keadilan itu bagi siapa? Bagi diri sendiri, orang lain atau bagi siapa ?
Stanis : (Sambil tersenyum bijak), Tentunya awalnya bagi diri sendiri namun lantas aku melihat kemungkinan lebih luas bagi sesama.
Srikandi : Bisa dijelaskan secara lebih kongkrit, kira-kira bentuk keadilan seperti apa yang Anda inginkan?
Stanis : Yang harus diingat adalah, lembaga semacam Taman Budaya itu memiliki kewajiban moral untuk melakukan pembinaan terhadap kesenian dan senimannya. Menjadi naïf saya kira kalau seorang peternak sapi perah berharap mendapatkan hasil susu yang berkualitas tanpa menyediakan rumput yang segar serta tersedianya kandang yang kondusif bagi tumbuh dan kembangnya sapi itu.
Abimanyu : Maaf, apa hubungannya antara seniman dan sapi perah?
Stanis : (Sembari mengulum senyumnya) Tentu saja ada kawan. Kalau lembaga seperti Taman Budaya tidak mau (Bukannya tidak mampu lho!) Ikut memikirkan kesejahteraan seniman, berarti dia (lembaga itu) sudah mengingkari hukum pendiriannya.
Srikandi : Bagaimana dengan sinyalemen bahwa setelah otonomi daerah, lembaga seperti TBY ini jadi terpangkas sumber dananya?
Stanis : Saya tidak menafikan hal itu, tapi kalau pengelola TBY mau kreativ dalam mendaya gunakan potensinya, bisa saja mereka merangkul pihak swasta. Semacam mekanisme kerjasama seperti yang galib dilakukan di antara kawan-kawan EO.
Abimanyu : Iya ya. Tapi kenapa hal ini tak dilakukan?
Stanis : Jangankan berpikir tentang sesuatu yang inovativ, untuk memulai sesuatu yang bisa melibatkan semua kalanganpun nampaknya TBY ogah-ogahan. Mereka cukup puas berposisi sebagai birokrat seni dan pegawai yang sok nyeniman. Padahal samasekali tak berpihak pada kehidupan seniman.
Srikandi : Ada contoh kongkretnya?
Stanis : Lihat saja Sosietet yang berdiri pongah dengan harga sewa yang tak murah itu. Hanya yang mempunyai uang yang bisa menyewa gedung yang konon representative untuk pertunjukan itu.
Abimanyu : Kalau menurut anda, sepadankah harga sewa itu dengan fasilitas yang diberikan VOC eh Sosietet itu?
Setelah tertawa bergelas-gelas. Dan menyeruput kopi masing-masing yang mulai dingin, Stanis melanjutkan sabdanya.
Stanis : Disitulah sebetulnya salah satu kejanggalan yang sering menjadi kejengkelan diantara kawan-kawan pengguna gedung kesenian yang untuk mengongkosi pendiriannyapun harus tega menggusur otoritas ruang ekonomi bakul palawija, yang nota bene adalah rakyat kecil.
SEPERTI KITA TAHU, SOSIETET BERFUNGSI SEBAGAI SEMACAM PENGGANTI SENISONO YANG TELAH DI GUSUR UNTUK PERLUASAN GEDUNG AGUNG.SEKITAR TAHUN 1991-1992 SENIMAN DI JOGJA TERGABUNG DALAM DSMI (DEWAN SENIMAN MUDA INDONESIA) MENCOBA UNTUK MELAKUKAN AKSI MENOLAK PEMBONGKARAN SALAH SATU BANGUNAN YANG MERUPAKAN HARGA DIRI HATI NURANI RAKYAT ITU.
Stanis : Maka menjadi sebuah kewajaran apabila di era tumbangnya wadah tunggal (sebagaimana menjadi sesuatu yang lazim dahulu kala di era ORBA), saat ini siapapun saja bisa dan boleh membangun wadahnya sendiri untuk media bagi kegelisahan bersama.
So, tak ada alasan untuk menolak hadirnya Lembaga Kesenian Swasta. Kalau memang kinerja Lembaga Kesenian Negara tak lagi becus menghargai kesenian dan senimannya, maka kami memberi tawaran lebih yang tak juga mereka berikan.
Mas Abimanyu dan Mbak Srikandi manggut-manggut penuh irama dan Catur Stanis meneruskan kata-katanya.
Stanis : Atas dasar itulah Solidaritas Indonesia Untuk Teater Jogja mempermaklumkan keberadaannya. Ditengah situasi serba canggung serta kurangnya aspirasi para pengemban amanat kebudayaan negeri ini menjalankan fungsinya.
Srikandi : (setelah menyeruput teh jahe serta mengganyang ketela rebusnya) Untuk itulah anda menggalang kekuatan.
Stanis : Tidaklah sesederhana itu persoalannya. Pertama, Teater berbasis kampus ini sekarang bergerak hampir tanpa pembela. Mereka dibiarkan sendirian untuk bertahan hidup. Kedua, soal estetika yang dipaksakan. Bagi saya biarkan saja Teater berbasis kampus dengan estetika mereka sendiri. Tanpa intervensi berlebihan dari pihak diluar kampus. Apalagi para petualang yang justru bisa merusak eksistensi Teater berbasis kampus itu sendiri.
Abimanyu : Sebegitu menyeramkankah kondisi yang di hadapi Teater berbasis Kampus?
Stanis : Mungkin yang terjadi lebih dahsyat lagi. Saya justru sedang berupaya untuk menghaluskannya dengan semacam eufimisme tertentu, agar orang tidak lekas gampang kaget dan kemudian jadi jantungan.
Srikandi : Kenapa Anda memilih untuk bersikap konfrontatif terhadap lembaga seperti TBY?
Stanis : Pertama bisa jadi kekecewaan, tapi itu tidak begitu penting. Yang kedua dan terutama adalah justru penegakan nilai-nilai keadilan.
Abimanyu : (Menyela) Maaf, yang Bung maksud dengan keadilan itu bagi siapa? Bagi diri sendiri, orang lain atau bagi siapa ?
Stanis : (Sambil tersenyum bijak), Tentunya awalnya bagi diri sendiri namun lantas aku melihat kemungkinan lebih luas bagi sesama.
Srikandi : Bisa dijelaskan secara lebih kongkrit, kira-kira bentuk keadilan seperti apa yang Anda inginkan?
Stanis : Yang harus diingat adalah, lembaga semacam Taman Budaya itu memiliki kewajiban moral untuk melakukan pembinaan terhadap kesenian dan senimannya. Menjadi naïf saya kira kalau seorang peternak sapi perah berharap mendapatkan hasil susu yang berkualitas tanpa menyediakan rumput yang segar serta tersedianya kandang yang kondusif bagi tumbuh dan kembangnya sapi itu.
Abimanyu : Maaf, apa hubungannya antara seniman dan sapi perah?
Stanis : (Sembari mengulum senyumnya) Tentu saja ada kawan. Kalau lembaga seperti Taman Budaya tidak mau (Bukannya tidak mampu lho!) Ikut memikirkan kesejahteraan seniman, berarti dia (lembaga itu) sudah mengingkari hukum pendiriannya.
Srikandi : Bagaimana dengan sinyalemen bahwa setelah otonomi daerah, lembaga seperti TBY ini jadi terpangkas sumber dananya?
Stanis : Saya tidak menafikan hal itu, tapi kalau pengelola TBY mau kreativ dalam mendaya gunakan potensinya, bisa saja mereka merangkul pihak swasta. Semacam mekanisme kerjasama seperti yang galib dilakukan di antara kawan-kawan EO.
Abimanyu : Iya ya. Tapi kenapa hal ini tak dilakukan?
Stanis : Jangankan berpikir tentang sesuatu yang inovativ, untuk memulai sesuatu yang bisa melibatkan semua kalanganpun nampaknya TBY ogah-ogahan. Mereka cukup puas berposisi sebagai birokrat seni dan pegawai yang sok nyeniman. Padahal samasekali tak berpihak pada kehidupan seniman.
Srikandi : Ada contoh kongkretnya?
Stanis : Lihat saja Sosietet yang berdiri pongah dengan harga sewa yang tak murah itu. Hanya yang mempunyai uang yang bisa menyewa gedung yang konon representative untuk pertunjukan itu.
Abimanyu : Kalau menurut anda, sepadankah harga sewa itu dengan fasilitas yang diberikan VOC eh Sosietet itu?
Setelah tertawa bergelas-gelas. Dan menyeruput kopi masing-masing yang mulai dingin, Stanis melanjutkan sabdanya.
Stanis : Disitulah sebetulnya salah satu kejanggalan yang sering menjadi kejengkelan diantara kawan-kawan pengguna gedung kesenian yang untuk mengongkosi pendiriannyapun harus tega menggusur otoritas ruang ekonomi bakul palawija, yang nota bene adalah rakyat kecil.
SEPERTI KITA TAHU, SOSIETET BERFUNGSI SEBAGAI SEMACAM PENGGANTI SENISONO YANG TELAH DI GUSUR UNTUK PERLUASAN GEDUNG AGUNG.SEKITAR TAHUN 1991-1992 SENIMAN DI JOGJA TERGABUNG DALAM DSMI (DEWAN SENIMAN MUDA INDONESIA) MENCOBA UNTUK MELAKUKAN AKSI MENOLAK PEMBONGKARAN SALAH SATU BANGUNAN YANG MERUPAKAN HARGA DIRI HATI NURANI RAKYAT ITU.
Stanis : Maka menjadi sebuah kewajaran apabila di era tumbangnya wadah tunggal (sebagaimana menjadi sesuatu yang lazim dahulu kala di era ORBA), saat ini siapapun saja bisa dan boleh membangun wadahnya sendiri untuk media bagi kegelisahan bersama.
So, tak ada alasan untuk menolak hadirnya Lembaga Kesenian Swasta. Kalau memang kinerja Lembaga Kesenian Negara tak lagi becus menghargai kesenian dan senimannya, maka kami memberi tawaran lebih yang tak juga mereka berikan.
Mas Abimanyu dan Mbak Srikandi manggut-manggut penuh irama dan Catur Stanis meneruskan kata-katanya.
Stanis : Atas dasar itulah Solidaritas Indonesia Untuk Teater Jogja mempermaklumkan keberadaannya. Ditengah situasi serba canggung serta kurangnya aspirasi para pengemban amanat kebudayaan negeri ini menjalankan fungsinya.
Srikandi : (setelah menyeruput teh jahe serta mengganyang ketela rebusnya) Untuk itulah anda menggalang kekuatan.
Stanis : Tidaklah sesederhana itu persoalannya. Pertama, Teater berbasis kampus ini sekarang bergerak hampir tanpa pembela. Mereka dibiarkan sendirian untuk bertahan hidup. Kedua, soal estetika yang dipaksakan. Bagi saya biarkan saja Teater berbasis kampus dengan estetika mereka sendiri. Tanpa intervensi berlebihan dari pihak diluar kampus. Apalagi para petualang yang justru bisa merusak eksistensi Teater berbasis kampus itu sendiri.
Abimanyu : Sebegitu menyeramkankah kondisi yang di hadapi Teater berbasis Kampus?
Stanis : Mungkin yang terjadi lebih dahsyat lagi. Saya justru sedang berupaya untuk menghaluskannya dengan semacam eufimisme tertentu, agar orang tidak lekas gampang kaget dan kemudian jadi jantungan.
1 comment:
good.....good....good....
Post a Comment