Seorang kawan mengajakku ke Stage Tari Tedjakusuma FBS UNY buat nonton pertunjukan teater dari komunitas Peron, FKIP UNS. Ada tiga alasan utama aku mengharuskan diri hadir ditempat itu, pertama adalah naskah Arifin Chairin Noer yang ini secara pribadi cukup menggedor rasa penasaranku. Yang kedua, Peron adalah teater berbasis kampus, sesuatu yang sedang dan akan kuperjuangkan keberadaannya sampai kapanpun.
Yang terakhir adalah stage tempat mereka pentas kali ini adalah satu ruang yang sangat bernilai sejarah bagi kehadiranku di wilayah kesenian. Karena dulu sekitar akhir 80an sampai pertengahan 90an, tempat itu menjadi semacam gua garba pengolahan kreativitas yang turut andil melahirkan banyak nama-nama seniman dan pekerja seni di kota Jogja ini.
Yang terakhir adalah stage tempat mereka pentas kali ini adalah satu ruang yang sangat bernilai sejarah bagi kehadiranku di wilayah kesenian. Karena dulu sekitar akhir 80an sampai pertengahan 90an, tempat itu menjadi semacam gua garba pengolahan kreativitas yang turut andil melahirkan banyak nama-nama seniman dan pekerja seni di kota Jogja ini.
#1
Naskah Ariefin C Noer ini pertama kali kubaca dari majalah sastra Horison terbitan tahun 1984 (kalau ngga salah ingat). Yang kubeli di Pasar Buku Shoping sekitar tahun 90an. Pertama kali saat kubaca naskah itu, terbayang kegilaan kontemplatif terhampar di ruang imajinasiku. Aku membayangkan sebuah hiruk pikuk yang senyap serta kesibukan yang kosong. Semacam penanda yang ditinggalkan Arifin C Noer sendiri melalui dialog-dialog cerdas yang di presentasikan oleh tokoh-tokohnya dalam drama ini. Adalah Sandek, tokoh utama dalam sandiwara ini yang sangat memahami ketokohannya, tiba-tiba di benturkan untuk berkonfrontasi langsung dengan Direktur Umum yang tak lain adalah “alter ego”nya sendiri. Dari sinilah konflik dibangun antara dua(?) tokoh yang sesungguhnya “satu” itu. Pilihan bentuk Realisme Epik seperti yang diusung oleh Bertold Brecht, memudahkan drama ini diterima sebagaimana halnya guyon parikeno seperti yang lazim hadir di banyak drama tradisional kita dan diadopsi oleh Dagelan Mataram maupun Srimulat. Perpindahan karakter dari satu tokoh untuk berlaku seolah-olah sebagai tokoh yang lain memungkinkan drama ini dimainkan dalam tempo yang se “cair” mungkin tanpa kehilangan kecerdasan dalam memainkan timing. Bukan saja aktor yang menguasai plastisitas olah vokal serta kepiawaian keluar masuk dari satu karakter ke karakter yang lain dalam intensitas yang sama. Pun juga sutradara yang harusnya mumpuni dalam mengelola energi managerial estetika pertunjukan. Permainan grouping serta koor dari elemen pendukung pementasan ini bukan saja dimaksudkan sekadar jeda intermeso namun juga memperkuat intensitas emosi permainan. Inilah sesungguhnya kekuatan Arifin C Noer sebagai pengusung surealisme yang cerdas dan tak terjebak dalam mistifikasi salah kaprah seperti yang sering diperagakan oleh sutradara sinetron kita yang membikin drama hidayah jadi penuh kemubadziran. Inilah langkah maju yang dilakukan Arifin C Noer yang bahkan tak pernah dipikirkan oleh para penggagas surealisme di Eropa sana. Surealisme Arifin C Noer adalah surealisme dengan muatan kompleksitas psikologis yang kental dan khas Indonesia (baca: timur) serta tidak hanya terjebak dalam satu frame pemahaman tertentu, sebagaimana yang lazim muncul dalam ranah pemikiran surealisme eropa. Meruang sekaligus menguasai dengan berbagai singgungan pemahaman untuk sampai pada simpul yang dibikin untuk tidak harus jelas (mengganjal dan gatal).
#2
Bagaimana dengan pertunjukan Komunitas Peron yang aku tonton saat itu? Permasalahan keaktoran agaknya menjadi masalah tersendiri. Si Pemeran Sandek (Adi Nurrohman) perlu lebih banyak lagi melatih plastisitasnya didalam olah vokal. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mempertajam karakteristik Sandek sebagai pemeran dan Sandek sebagai tokoh sandiwara ini. Berikutnya adalah persoalan intensitas penghayatan yang kelihatan terbata-bata diperagakan oleh pemeran Ibu Tua ( Tanti Yossita). Teknik muncul yang cukup mencekam jadi runtuh manakala ibu tua itu kehilangan karakter ketuaannya justru setelah mengeksplor vokalnya. Karakter sebagai ibu tua yang kenyang derita karena lama mencari anak kandungnya tak nampak sama sekali. Beberapa timing yang dibangun melalui sentuhan musikal menjadi kurang pas dan cenderung mengganggu pengadeganannya, seperti terlihat saat Sandek terlibat pembicaraan seru dengan Direktur Umum, tiba-tiba alunan musik Jimbe masuk membuyarkan. Mungkin pengennya mendekati suara degup jantung namun justru jadi kehilangan denyut hidup. Suara genta atau klenengan yang dipukul berulang dalam satu nada berjarak (monotone) justru saya kira lebih memberi sugesti kuat bagi efek mencekam yang ingin ditimbulkannya. Adegan rumah yang sakit dengan epidemi batuknya agak berlebihan kurasa. Menjadi janggal melihat paramedis yang datang tanpa masker penutup hidung dan mulut. Pemeran anak-anak masih terlihat terlalu dewasa dan kemanjaan Oni (isteri Sandek) tak begitu nampak. Beberapa permainan grouping dari pemain cukup mengasyikkan dinikmati. Terutama pada saat si ibu tua melancarkan kutukan yang akhirnya gagal itu. Bagian inilah yang paling bisa saya nikmati dari sepanjang pertunjukan Komunitas Peron malam itu. Setidaknya Komunitas Peron sudah mencoba selebihnya tegur sapa seperti ini, menjadi tradisi yang asyik untuk kita kembang teruskan. Maju terus Peron. Sekali berbuat pantang untuk diundurkan. Apalagi almarhum Arifin C Noer cukup memberi penanda jelas dalam karyanya ini dengan syairnya:
Beratus-ratus tahun sudah
Kita tak pernah istirah
Betapa panjang ini perjalanan
Betapa panjang bayangan Tuhan
Betapa menyilaukan cahaya Tuhan
Kadang membutakan
Kadang membutakan
Begitulah dalam melihat Tuhan. Jangankan aku dan engkau kawan, yang sekadar hanya manusia teater yang ala kadarnya. Lha wong yang namanya kanjeng Nabi Musa AS kekasih Allah itu saja bisa pingsan berkeping-keping karena nanar oleh sapuan pendar cahayaNya. Apalagi kita. Dan atau lebih-lebih apalagi hanya kita, yang dengan segala keterbatasan mencoba menangkap bayanganNya. Tak ada gading yang tak retak. Selalu ada waktu bagi kerendah hatian untuk menemukan cara bagi perbaikan diri. Selebihnya kita serahkan pada keluasan semesta untuk menakarnya. Maju terus. Akulah pendukungmu wahai umat teater kampus. Sambil terngiang kata-kata Sandek yang menggedor bathinku, kusudahi tulisan ini sambil berharap semoga segera muncul penulis drama sekaliber Arifin Chairin Noer yang cerdas dan kreativ di bumi ini, bumi Indonesia yang semestinya kita cintai dengan kesungguhan hati bersama ini. Semoga.
::Sepulang Nonton, seusai ngobrol dengan Mujibur Rohman dan Amin::
No comments:
Post a Comment