Ada kabar kudengar dari arah selatan kota Jogja sebuah Parade Teater Realis di salah satu perguruan tinggi seni dikota ini. Kulewatkan waktu bersama mereka dan sempat ngobrol dengan beberapa pelakunya. Ada segurat kegelisahan selebihnya tinggal pengulangan
yang berkedok pada konsekwensi akademik. Ada baiknya memang pelajar yang belajar teater itu dikenalkan pada teater realis konvensional, sebagaimana yang lazim terjadi pada mata kuliah kajian drama di institusi pendidikan yang lain seperti UNY misalnya. Meski tidak harus, namun setidaknya mengenalkan pada mereka batasan mana yang boleh dan tidak, sebagaimana lazimnya dalam "hukum" drama. Seenggaknya kelak bila ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan penjelajahan estetik melalui eksperimentasi bentuk garapan, diupayakan tidak terjebak pada sekadar lari dari yang biasanya hanya untuk biar keliatan beda, tanpa dikuasainya secara baik dan benar materi dasar yang konon bersumber dari konvensi dramaturgi.
yang berkedok pada konsekwensi akademik. Ada baiknya memang pelajar yang belajar teater itu dikenalkan pada teater realis konvensional, sebagaimana yang lazim terjadi pada mata kuliah kajian drama di institusi pendidikan yang lain seperti UNY misalnya. Meski tidak harus, namun setidaknya mengenalkan pada mereka batasan mana yang boleh dan tidak, sebagaimana lazimnya dalam "hukum" drama. Seenggaknya kelak bila ada kesempatan bagi mereka untuk melakukan penjelajahan estetik melalui eksperimentasi bentuk garapan, diupayakan tidak terjebak pada sekadar lari dari yang biasanya hanya untuk biar keliatan beda, tanpa dikuasainya secara baik dan benar materi dasar yang konon bersumber dari konvensi dramaturgi.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya konvensi itu dikenalkan dikalangan akademisi teater itu memang naga-naganya perlu ditelisik ulang juga. Mengenai ketidak setujuan beberapa kalangan, lebih pada belum dicapai titik temu dari komunikasi yang sering sendat diwilayah kesenian seperti teater. Maka bagi saya yang bukan akademikus di bidang teater, persoalannya menjadi lebih sederhana. Kalau saya suka akan saya nikmati, kalau ndak...maka saya akan memilih bentuk ungkap yang berbeda dari yang ditawarkan. Itu saja kok repot. Tapi memang sudah kodratnya barangkali, esensi drama adalah konflik itu sendiri, maka menjadi sebuah kewajaran pula bila yang kita saksikan di Jogja akhir-akhir ini, lebih pada hingar-bingar peristiwa diluar panggungnya dari pada aksi diatas panggung yang lebih sering senyap lantaran masyarakat yang potensial menjadi penonton kebanyakan enggan untuk keluar rumah menyaksikan pertunjukan teater dan memilih "kemulan sarung"sembari melototi acara iklan dengan selingan sinetron itu.
Oahemmm...tiba-tiba rasa kantuk mendera saya tanpa tahu lagi kemana badan ini mesti direbahkan untuk sekadar mengusir lelah, karena sampai detik ini ternyata Taman Budaya di Jogja tak menyediakan fasilitas semacam Wisma Seni, jadilah saya tidur bersama tekyan sembari mendekap mimpi ditengah bingar kota yang makin lama tak bersahaja ini. Brand image sebagai never ending asia tertelan oleh kibasan sayap pongah kapital hingga lebih terdengar sebagai Jogja Never Ending Belanja (hahaha).
Sebaiknya aku memilih untuk tidur saja, semoga mimpiku kali ini belum juga di beri label harga standar mal dan plasa serta dijual ketengan di kolong tukang loak. Dan yang paling gratis dalam hidup ini adalah tidur dengan segala konsekwensinya.
No comments:
Post a Comment