Beberapa saat lewat usai meluncurkan PARTY di Pink ReTro Jl Gedawan Yogya. Dengan ditemani secangkir kopi dan kentang goreng serta sebungkus Marlboro, Catur Stanis menerima kedatangan reporter majalah sastra dan budaya HORAISIN serta terlibat dalam perbincangan hangat saat malam menanti pagi.
Catur Stanis (untuk selanjutnya kita sebut sebagaiCS,RED) dan penanya (enaknya disingkat P aja ya,RED).Berikut petikan dialog mereka sembari menanti hujan reda.
P : Selamat Malam
CS : Malam
P : Bisakah anda ceritakan tentang PARTY ini?
CS : Party adalah sebuah perkumpulan. Ajang kumpulkumpul yang bisa diikuti siapa saja yang mengira dirinya orang teater
P : Maaf, kenapa anda menggunakan istilah "mengira?"
CS : (Agak Dongkol Sedikit) Apa salahnya dengan "mengira"? Bukankah setiap kita sering melakukan hal ini. Kita mengira diri kita umat manusia padahal kita baru belajar menjadi manusia. Kita mengira diri kita waras padahal tak ditemukan alat bukti dalam diri kita yang menunjukkan kewarasan itu. Kita mengira diri kita baik dan benar, padahal belum tentu. Serta tentu masih banyak lagi.
P : Kembali ke PARTY, kenapa anda memilih akronim serupa ini? Berkesan mainmain dan tidak nampak serius.
CS : Biarin saja. Memang dunia ini sendau gurau dan mainmain belaka..hahhaha Kalau yang ini tentu kalimat dari Tuhan saya lho yang saya kutip dari kitabNya. Maka biarlah PARTY bermula dari mainmain menuju kesungguhan. Akan lebih naif dan konyol, saya rasa apabila diawali dengan kesungguhan namun hasilnya justru mainmain.
P : Sama seperti waktu anda kuliah dulu ya?
CS : (Agak Kaget) Apa?
P : Anda mengawali perkuliahan dengan sungguhsungguh kemudian lantas...
Belum selesai wartawan itu dengan kalimatnya, Catur Stanis memotongnya dengan anggun,
CS : Itu persepsi awam! Dan awam senantiasa melihat dalam perspektif buram. Kalo saya berhak menggunakan hak jawab saya, saya akan mengatakan kepada anda dan orangorang yang berpikir seperti anda dengan kalimat; "Saya memulai segalanya dengan sungguhsungguh dan mengakhirinya dengan bukan main!"
P : Tapi kenapa masyarakat kita cenderung menilai Anda sebagai pribadi yang tak begitu serius menjalani hidup anda?
CS : (Sembari tersenyum muanis) Ah, tahu apa masyarakat dengan diri saya. Mereka serupa menggunakan kacamata kuda untuk meneropong sisi kepribadian saya yang semestinya kudu dilihat dalam kebeningan mikroskoptik.
P : Kalo begitu anda sedang memulai konflik dengan masyarakat donk.
CS : Nanti dulu, masyarakat yang seperti apa dulu. Saya rasa terlalu bodoh untuk mengibarkan bendera konflik dengan siapapun yang kebetulan berbeda pilihan sikap dengan kita. makanya saya bangun PARTY dengan sistem keanggotaan yang cukup fleksibel tanpa ikatan AD/ART maupun aturan main dalam kertas lainnya. Itu semata demi menghindarkan diri dari kemungkinan konflik yang tak begitu perlu itu. Saya tidak akan memaksa siapapun untuk harus bergabung. siapa mau bergabung ayo, ngga juga ngga masyalah...
P : Lantas kenapa harus ada PARTY?
CS : Kenapa harus tidak ada?
P : Anda tidak menjawab pertanyaan saya
CS : Saya akan menjawabnya seandainya ada alasan cerdas dari pertanyaan anda. Dan saya berhak diam untuk pertanyaan yang tak berkwalitas seperti pertanyaan anda barusan,
P : Oke, baiklah. Kalo begitu apa reaksi anda menghadapi mereka yang memandang sinis akan kehadiran PARTY?
CS : Biarin aja. saya kira sikap saya akan sama dengan sikap saya saat menghadapi siapa saja yang memandang sinis kehadiran saya dimuka bumi ini. Minimal saya akan menghibur diri saya dengan meyakinkan pada diri saya sendiri semoga saya masih tercatat sebagai anggota manusia.
P : Kalo begitu anda masih juga ingin diakui donk oleh mereka.
CS : Mereka yang mana? Mereka yang memandang dengan segenap bening jiwa atau mereka yang menatap nanar dan melihat samar karena tertutupi cawet bosok dibathinnya?
P : Cawet Bosok? (Kaget dan hampir saja menahan tawa)
CS : Mungkin seperti itu.
setelah melewati saatsaat yang menegangkan, kehadiran nyonya rumah lumayan menyegarkan
P : Apa citacita anda bersama PARTY?
CS : Saya mengandaikan sebuah tata pergaulan teater yang manusiawi. Bagaimanapun aktor bukan sekadar robot yang digerakkan oleh sutradara. Dan sutradara tidak harus memiliki otoritas melampaui kuasa Tuhan. Bagaimanapun juga mereka tetap manusia dan seyogyanya diperlakukan secara manusiawi.
P : Padahal anda sendiri termasuk korban dari sistem yang tak manusiawi itu
CS : Saya tidak pernah mengiRa diri saya sebagai korban. Saya hanya mencoba menjalani hidup apa adanya, selaras dengan alam dan Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi disetiap gerak langkah ucapan pikiran dan perbuatan saya. Kalo lantas kemudian ada benturan, saya akan mencari celah keluar dari konflik untuk mengambil jalan pintas yang terbaik buat siapa saja, bukan saja buat saya atau mereka tapi tentunya buat semuanya dimana saja, kapan saja.
P : Kalo begitu anda akan terus berlari mengejar bayangan ilusi.
CS : Lebih terdengar seperti lagunya Anggun C Sasmi saya kira nada pertanyaan anda, Dan karena bagi saya ini sekadar retorik ya, silahkan diminum dulu kopinya nanti keburu dingin lho.
P : Anda memang cukup piawai dalam menghindar serta meloloskan diri dari jebakan pertanyaan.
CS : Terimakasih, dan sorry saya tak biasa menerima pujian. Karena kebiasaan orang selama ini hanya senang memuji saya dibelakang punggung saya,hahaha.
P : Apa makna kritik bagi anda?
CS : Sebagaimana halnya pupuk bagi pertumbuhan kreativ maupun pematangan kepribadian serta pendewasaan pola pikir. Asal proporsional serta tahu persis bagaimana menghadapi model tanaman yang hendak kita pupuk.
P : Agak melompat, kenapa anda seolah menolak komersialisasi atas pekerjaan anda?
CS : Saya hidup dilingkungan yang sangat kental dengan jargon "Hidup-hidupilah teater dan jangan cari hidup melalui teater".
P : Terus gimana dunk caranya?
CS : Ya saya harus jadi orang yang berharta, minimal konglomerat atau apa gitu, untuk mengongkosi diri saya sendiri dan tentunya bagi teater saya.
P : Menurut anda sendiri Teater itu apa?
CS : Teater adalah saya. Lihatlah saya, pelajarilah baikbaik, kamu akan menemukan jawaban dari pertanyaanmu itu.
tibatiba lampu di resto itu padam, tanda hari sudah siang dan kami pun berpisah jalan. Sesungguhnya masih cukup banyak pertanyaan yang belum terselesaikan, tapi siapa yang berani jamin bahwa tidak ada hari esok untuk ketemu.
Senyum manis Catur Stanis mengantar kepergian Clara, wartawati muda yang harus diakui emang lumayan manis itu.
Sejenak melambaikan tangan pada Bis Kota Jalur 7 untuk melanjutkan langkah menuju ke Sekolah Tinggi Tinggi Sekali. Konon ada dengar pendapat soal PARTY ini. Belum tidur emang, tapi nggak harus capek khan?
Di Aula sekolah itu telah hadir sekian ratus siswa, mereka nampak antusias mengikuti acara 1 Jam Bersama Catur Stanis ini.
Sejenak melambaikan tangan pada Bis Kota Jalur 7 untuk melanjutkan langkah menuju ke Sekolah Tinggi Tinggi Sekali. Konon ada dengar pendapat soal PARTY ini. Belum tidur emang, tapi nggak harus capek khan?
Di Aula sekolah itu telah hadir sekian ratus siswa, mereka nampak antusias mengikuti acara 1 Jam Bersama Catur Stanis ini.
No comments:
Post a Comment