Pada pagi yang bergegas menjemput siang, Al Stanis yang dimuliakan Tuhan dengan pakaian compangcamping kebesarannya, Nampak menyeruput secangkir kopi pahit dan menghisap dalam-dalam sisa puntung rokok kreteknya semalam.
Duduk bersandar pada sebatang pohon tua di pinggir jalan yang bersebelahan dengan sungai yang mengalir serupa cofeemix. sementara deru kendaraan bermotor berlautan dihadapannya. Al Stanis terlihat tenang, sesekali mata tuanya menerawang di kejauhan.
Duduk bersandar pada sebatang pohon tua di pinggir jalan yang bersebelahan dengan sungai yang mengalir serupa cofeemix. sementara deru kendaraan bermotor berlautan dihadapannya. Al Stanis terlihat tenang, sesekali mata tuanya menerawang di kejauhan.
Datanglah kemudian seorang pemuda berambut gondrong dengan ransel kusam nongkrong di punggungnya, duduk disampingnya dan bertanya,
“Ceritakan pada kami ihwal tontonan dan penontonnya”
Maka dengan senyum anggunnya yang khas serta mengandung balutan prana, memancarkan perbawa, Al Stanis memulai sabdanya,
“Tontonan dan penonton adalah sekeping mata uang dua sisi. Ia menjadi ada dan berguna manakala keduanya hadir bersamasama.”
Tak ada tontonan tanpa penonton. Dan tak bisa disebut sebagai penonton apabila tiada menyaksikan peristiwa, sekalipun sejumput saja.
Maka tontonan senantiasa membutuhkan penontonnya dan begitu pula sebaliknya penonton akan selalu membutuhkan tontonannya.
Laksana suami menemui isteri, ada sekeping harapan, seonggok kecemasan serta kesanggupan untuk berbagi.
Bukan sebagaimana pelacur dan pelanggannya, yang dipertemukan semata oleh pemuasan ego pribadi dibungkus hukum jual beli.
Jadilah tontonan itu nikmat justru ketika bisa dinikmati oleh keduanya, bukan semata pemuasan dan atau penguasaan satu pihak atas pihak lainnya.
Adapun perihal penonton adalah sekumpulan individu yang memiliki pengenalan pada diri yang lebih baik. Mereka sangat mengenal dirinya sehingga menjadi asing satu sama lain manakala harus menoleh ke kanan maupun ke kiri.
Pernahkah engkau merasakan menjadi individu bebas, dalam ruang gelap dihadapan panggung dengan pesta cahayanya?
Aku sendiri, senantiasa membebaskan diriku sebagai penonton. Menyentuh bagian paling personal dari kenyamanan saat menyaksikan pertunjukan. Itulah sebabnya kenapa pada bagian penonton selalu di beri cahaya paling minimal, bukan pada persoalan membantu konsentrasi permainan di atas panggung saja kurasa, namun aku lebih melihatnya sebagai privatisasi personal bagi penonton. Kalau saja sekadar pemenuhan konsentrasi pemeranan, tentu penonton film di bioskop tak membutuhkan peredupan cahaya sedemikian rupa.
Akan halnya penonton, yang berdiam dalam kegelapan dengan segala kebebasan kemungkinannya, telah menjadi alasan yang terang benderang bagi kita untuk sebuah pengertian :”Penonton adalah raja.” Setidaknya Raja bagi dirinya sendiri.
::Jogja, 15 November 2007, di lantai Plasa Ambarrukmo yang meredakan gerah meluapkan gairah::
No comments:
Post a Comment