Monday, November 26, 2007

Nama Berbeda Wajah Mirip Semua

Berbicara tentang teater mahasiswa di Jogja. Aku disudutkan pada pertanyaan yang hampir menjadi klise (untuk tidak menyebutnya sebagai klasik). Yakni pertanyaan tentang identitas. Beberapa kawan cukup memaknai identitas itu hanya sampai pada pengertian dimilikinya nama. Namun bagiku, identitas utama adalah pada perwajahan dari komunitas yang mengusung teater sebagai kendaraan kreativnya.
Apagunanya sebuah komunitas teater memiliki nama namun tidak dimilikinya format wajah yang membedakannya dengan komunitas lain. Bayangkanlah, betapa absurdnya kehidupan ini, jika kita semua memiliki wajah yang sama. Hanya nama yang membedakan, namun pola ucap serta gerak-gerik kita menjadi seragam. Apalagi wajahnya, makin mirip-mirip saja.

Padahal semestinya, teater mahasiswa di Jogja, cukup memiliki bekal untuk menemukan identitas spesifik yang membedakannya dengan komunitas lain. Bukankah teater mahasiswa di Jogja berangkat dari latar belakang kampus yang beragam. Kenapa bentuk ekspresinya bisa menjadi semata seragam? Sebuah keanehan yang bukan saja mengada-ada namun cenderung untuk menjadi sedemikian absurd.

Kegelisahan ini telah cukup lama sehingga membuat hubunganku dengan beberapa kawan di Jogja jadi seakan berjarak. Sungguh sebuah tata pergaulan yang absurd kukira. Dan sampai kapanpun jogja tak pernah beranjak dari absurditas semacam itu. Maka aku memilih untuk berdiam di tempat lain dan mencari kemungkinan buat berkembang lebih baik lagi. Dan kau tau kawan, aku ingin semuanya menjadi wajar, baik ada atau tiada aku diantara kalian.

Telah kukatakan pada seorang teman, saat kami ketemu di beranda kost temannya di bilangan Sapen Jogja, tentang pengunduran diriku dari segala aktivitas kesenian di kota Jogja. Dan kalau lantas kemudian kami memilih Solo, kalian mau apa? Sekali lagi ini soal pilihan semata kawan, dan tak ada hubungannya dengan cinta ataupun benci. Celeng mencretlah itu semua! Aku bergegas untuk menggantang harihariku kedepan karena memang hidup sudah sedemikian menantang.

Maka aku memilih untuk banting stir dari kehidupanku yang lalu dan meniatkan diri untuk mengubah hidupku, sukursukur jadi konglomerat atau apa gitu. Kamu pasti sulit untuk percaya, kalau aku bisa berpikir untuk meninggalkan kenikmatan semu yang bernama pergaulan komunitas, serta memilih kehidupan senyap dalam ruang di bathinku untuk menjadi seorang penyusur sunyi. Istilah pejalan sunyi menjadi remeh temeh sekarang, karena banyak orang telah merasa memilikinya. Dan pilihan menjadi penyusur ini adalah pilihan terindah dalam hidupku.

Akulah penyusur itu. Yang bergerak di gelisah malam menuntaskan rindu pada hamparan sebidang pulau yang jauh di sono noh. Biar saja mereka bilang saya seperti apapun saja, yang penting saya sedang berbuat untuk sesuatu. Setidaknya semoga bermakna buat diri ini. Selebihnya biar menjadi urusan semesta.

Aku sesungguhnya tak hendak lagi ingin memaki langit. Tapi memang barangkali inilah satusatunya cara agar tak menjadi kalut

2 comments:

The Bitch said...

muka sama yah? kayak semua artis yang serupa krisdayanti? xixi..

si catur yang stanis said...

emang iya..jadi kadang pengen males aja kalo disuruh nonton teater. tapi karena udah kwajiban, maka ya gw jalanin dengan enjoy aja lagi..